Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sumatra Utara menilai Rancangan Undang Undang (RUU) Pertanahan akan mengancam dan merampas kedaulatan petani juga masyarakat adat. RUU yang akan segera disahkan DPR RI ini juga dianggap kontra produktif dengan semangat Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 tahun 1960.
Menurut KPA, harusnya RUU Pertanahan menjadi regulasi yang dapat menjawab disharmonisasi semua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keagrariaan yang ada selama ini. Bukan sebaliknya malah mereduksi norma, nilai-nilai dan kaidah yang sudah ada sehingga menciptakan ketidakpastian hukum.
"Ini berpotensi menghilangkan efektivitas dan efisiensi dalam implementasinya serta berpotensi pula pemborosan dalam sumberdaya," kata Koordinator Wilayah KPA Sumut, Hawari Hasibuan usai rapat konsolidasi KPA Sumut bersama elemen organisasi masyarakat lainnya, Sabtu (7/9/2019), di Sekretariat Bersama KPA Sumut, Jalan Bahagia By Pass, Medan, sebagai keterangan tertulis yang diterima medanbisnisdaily.com, Minggu (8/9/2019).
KPA mencatat, di Sumatra Utara, tahun 2017 sedikitnya ada 23 kali konflik agraria yang memuncak dan pecah menjadi konflik fisik. Sepanjang tahun 2018 terjadi 59 kali letusan konflik tersebut. Sedangkan menurut catatan Hutan Rakyat Institute (HaRI), sejak 2014 hingga kini, ada 106 kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih berkonflik dengan perkebunan maupun perusahaan hutan tanaman industri, dengan luasan mencapai 346,648 hektar. Dari 106 tersebut, 75 kelompok masyarakat tani dan masyarakat adat masih berkonflik dengan perkebunan, dan sisanya, 31 kelompok masyarakat tani atau masyarakat adat masih berkonflik dengan perusahaan hutan tanaman industri (HTI).
KontraS Sumut mencatat, dalam rentang tahun 2013 hingga 2017 saja, paling sedikit ada 53 kasus konflik agraria khusus pada lahan eks HGU yang berada di sekitar Kota Medan. Lahan HGU PTPN II dan eks HGU PTPN II selama ini adalah objek konflik agraria yang tak kunjung selesai dan menjadi areal konflik terbesar dengan melibatkan berbagai aktor, baik antara kelompok masyarakat, pengusaha real estate, dan bahkan mafia tanah.
“Celakanya, masing-masing kementerian memiliki aturan tersendiri terkait hal yang bersinggungan dengan agraria. Akibatnya, penyelesaian konflik agraria tidak pernah terwujud. Bahkan justru semakin membingungkan. Belum lagi persoalan tanah masyarakat adat yang belum tercover dalam Perpres 86 tahun 2018. Hal ini berpotensial menimbulkan konflik antara wilayah adat rakyat penunggu dan wilayah yang diklaim sebagai garapan oleh masyarakat penggarap dalam skema tanah objek reformis agraria (TORA)! Misalnya diwilayah eks HGU PTPN II, tadi," tambah Ketua BPRPI, Alpi Syahrin,
Dalam RUU Pertanahan ini, persoalan HGU dan Eks HGU perkebunan menjadi objek yang menjadi penyebab konflik agraria. HGU mengatur hak guna usaha untuk perorangan (20 tahun) dan badan hukum (35 tahun), namun penerbitan dan penertibannya tidak diatur, dan diperpanjang lagi 20 tahun
Hawari Hasibuan melanjutkan, kebijakan pemerintahan pada masa yang lalu yang cenderung tumpang tindih, sektoral dan disharmoni mengakibatkan belum adanya pengaturan mengenai mekanisme penyelesaian konflik agraria yang komprehensif.
“Pada masa lalu, konflik-konflik agraria yang melibatkan masyarakat makin dan tidak mampu, selalu diarahkan pada hukum formal semata dengan pembentukan pengadilan pertanahan yang berpotensi memiliki keterbatasan wewenang untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria. Dengan kondisi materil petani dan masyarakat adat, ditambah lagi dengan miskinnya data dan dokumen kepemilikan petani bisa dipastikan akan semakin memperlemah posisi petani dalam berperkara agraria,' tegas Arie Putra Siregar, Ketua SPSB dan juga Ketua Pos Para Legal Masyarakat Serdang Bedagai.
KPA Wilayah Sumatera Utara menilai hampir secara keseluruhan isi dari RUU tersebut akan mengancam dan memuluskan perampasan lahan masyarakat. Substansi RUU dinilai tidak menghendaki adanya penyelesaian konflik-konflik agraria yang dialami masyarakat adat dan petani secara berkeadilan bahkan yang muncul adalah kekuasaan negara yang berlebihan dengan penyebutan “tanah negara” dalam beberapa pasal.
“KPA Sumut meminta agar DPR RI tidak terburu-buru membahas dan mengesahkan RUU Pertanahan di penghujung periode DPR RI 2014 – 2019 ini. Agar tidak memberikan reputasi buruk di penghujung pengabdiannya dan mencederai rasa keadilan rakyat. RUU Pertanahan harus dibahas kembali secara komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan dengan semangat nasionalisme dan selaras dengan TAP MPR Nomor IX/MPR/2011 dan UUPA bahwa “Tanah untuk Rakyat” bukan untuk kepentingan segelintir orang di dalam korporasi,” pungkas Hawari.