Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Wafatnya mantan Presiden RI, BJ Habibie pada Rabu, 11 September 2019, menyisakan banyak kenangan bagi sejumlah tokoh di Indonesia. Tidak terkecuali bagi tokoh-tokoh Batak yang konsen pada perjuangan pelestarikan Kawasan Danau Toba (KDT).
Setahun setelah BJ Habibie menjabat presiden menggantikan Soeharto, ia memutuskan menghentikan operasional PT Inti Idorayon Utama (IIU) yang kini berubah nama menjadi PT TPL pada Maret 1999. Perusahaan yang sudah beroperasi sejak 1983 itu ditengarai merusak lingkungan di KDT. BJ Habibie sendiri dilantik menjadi Presiden Indonesia ke-3 pada Mei 1998.
Penutupan itu merupakan sejarah baru, karena hanya BJ Habibie yang berani menutup perusahaan pulp yang konon kabarnya terbesar di dunia itu. Di era Soeharto, usulan itu juga sudah disampaikan para tokoh Batak, tapi tidak digubris.
Kronologis penutupan perusahaan itupun dikisahkan pelaku sejarah yang juga tokoh Batak, Jansen Sinamo di akun FB-nya, Rabu malam (11/9/2019), tak lama setelah kabar meninggalnya BJ Habibie tersebar di berbagai media massa. Postingan itu kemudian diteruskan di berbagai grup WA dan mendapat reaksi positif dari para netizen. Berikut postingan Jansen Sinamo yang diberinya judul "Sedikit Kenangan Atas Bapak BJ Habibie" itu.
"Kenapa orang Batak itu pintar-pintar? tanya Presiden Habibie dengan mimik dan suara khasnya yang meninggi, kepada rombongan kami yang berkunjung ke kantornya di Istana, akhir Desember 1998. Dia menyebut beberapa nama alumni Jerman yang orang Batak.
Rombongan kami memang dipimpin orang pintar, Prof Dr Midian Sirait dan Prof Dr K Tunggul Sirait, abang adik yang guru besar ITB bidang farmasi dan elektro, yang beroleh gelar doktor dari Jerman, bahkan beristerikan perempuan Jerman keduanya.
Itu karena anak-anak Batak banyak makan ikan yang melimpah di Danau Toba beserta 200-an sungai kecil yang bermuara ke danau itu, jawab Prof Midian.
Sama seperti di Parepare, kampung Bapak Presiden, banyak ikan kan; makanya bisa pintar sekali Bapak ini; puji Prof Midian lagi.
Habibie tersentuh rasa bangga akan kampungnya, lalu cerita masa bocahnya di Parepare, terkait ikan, sungai, dan laut.
Dua jam pertemuan kami, sebagian besar berisi cerita tiga alumni Jerman itu tentang kampung dan memori mereka saat kuliah dulu di Jerman. Reuni colongan mereka.
Kami tiga belas orang anggota rombongan lain yang bukan alumni Jerman, merasa ikut bahagia bisa ikut tertawa-tawa tergelak bersama tiga doktor Jerman itu saat cerita mereka berklimaks lucu atau dramatis. Kapan lagi bisa ngakak bersama Presiden, iya kan.
Lima belas menit terakhir barulah Prof Midian fokus bicara tentang maksud kedatangan kami, bahwa kualitas lingkungan Danau Toba telah merosot jauh akibat operasi pabrik pulp dan rayon dekat Porsea. Hutan makin habis, udara tercemar, sungai-sungai juga, ikan-ikan bakal habis. Anak-anak Batak bakal tak ada lagi nanti yang pintar, demikian ringkas laporan Prof Midian.
Mohon Bapak Presiden menutup saja itu pabrik, terlalu banyak mudaratnya bagi masyarakat dan lingkungan Danau Toba.
Saya mau tutup itu Indorayon, kata Habibie. Tapi beri dulu saya laporan lengkap akan situasi di sana, khususnya dampak perusahaan itu bagi Danau Toba, kata Presiden. Kalau laporannya sudah jadi, kita ketemu lagi di sini. Silakan datang.
Karena saya adalah Sekjen Yayasan (Yayasan Pencinta Danau Toba-red)yang beraudiensi dengan Presiden, maka tugas membuat laporan jatuh ke tangan saya.
Seminggu lagi sudah Natal. Lalu Tahun Baru. Semua pengen libur. Kawan-kawan Pengurus Yayasan membujuk saya agar bersedia berkorban fokus menulis laporan kepada Presiden itu. Tidak libur saya.
Bendahara Yayasan kami, Drs Inget Sembiring, waktu itu Presdir PT Astra Graphia dia, menulis cek pribadi Rp 25 juta buat saya. Bapak pasti perlu biaya membuat laporan itu, katanya dengan suara membujuk.
Seperti menulis disertasi rasanya membuat laporan ini. Perjuangan masyarakat Danau Toba mengenyahkan sumber polusi yang telah memakan korban itu, kini ada di tangan saya.
Satu keranjang besar dokumen---soal air, soal hutan, soal limbah padat cair gas, soal kesehatan, soal pertanian, soal infrastruktur dan sosial---harus saya olah menjadi laporan padat komprehensif.
Beruntung saya dibantu Prof Dr Firman Manurung yang ahli teknik kimia, Dr Djamester Simarmata yang ahli ekonomi infrastruktur, Dr Togu Manurung yang ahli kehutanan, Prof Dr Bungaran Saragih yang ahli pertanian, Dr Hot Asi Tambunan yang ahli kesehatan, dan beberapa lagi.
Akhir Januari 1999 laporan jadi. Laporan kami kirim ke Presiden lewat tangan Pak Sintong Panjaitan, waktu itu "pengawal khusus" Presiden Habibie dia. Akhir Februari kami diundang ke istana, mendengar keputusan Presiden atas laporan kami, berjudul Dampak Operasi PT Inti Indorayon Utama terhadap Lingkungan Danau Toba.
Dalam pertemuan singkat pagi itu, Pak Habibie bilang bahwa PT Indorayon ditutup per hari ini. Dia tugaskan Prof Midian dan Pak Sintong Panjaitan mengumumkannya kepada wartawan yang sudah menunggu di luar.
Pak Habibie juga menugaskan Yayasan kami bersama 7 kementerian merancang Otorita Danau Toba. Nanti menjadi Kepres. Saya mau teken itu segera. Pak Midian dan Pak Tunggul, Danau Toba akan seperti yang kalian cita-citakan.
Hampir 10 bulan rapat demi rapat kami bersama 7 kementerian tadi, ketika rancangan Kepres sudah jadi, tinggal teken, keburu Pak Habibie harus lengser karena pertanggungjawabannya tidak diterima oleh MPR
573 hari saja dia berkuasa, Gus Dur yang jadi presiden kemudian. Konsep Kepres diambil oleh Pemprov Sumut, diadaptasi menjadi Badan Pengelola Ekosistem Danau Toba.
Hari ini (Rabu, 11/9/2019) Pak Habibie berpulang. Terima kasih Bapak. Besar jasamu bagi Republik. Selamat jalan. Rest in peace.