Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Sikap Presiden Joko Widodo yang semula menolak usulan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru disahkan pada 17 September 2019, kini mulai goyang. Sebelumnya, awal pekan lalu usai bertemu pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Istana Merdeka, saat ditanya wartawan soal kemungkinan mengeluarkan Perppu tersebut, Jokowi hanya menjawab singkat, "Enggak ada (Perpu)."
Namun, Kamis (26/9/2019) lalu Istana mengundang sejumlah tokoh dengan agenda berdiskusi soal beberapa isu hukum, politik, dan lingkungan yang mengemuka. Presiden Jokowi memakai kemeja putih duduk didampingi Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang mengambil posisi di sebelah kanannya. Sementara Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana, Alexander Lay, dan Sukardi Rinakit berturut-turut duduk di sebelah kiri mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Sementara di seberangnya duduk sejumlah tokoh agama, akademisi, dan pakar-pakar hukum. Seperti cendekiawan Islam Quraish Shihab, rohaniwan Franz Magnis Suseno, budayawan Goenawan Mohamad, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Guru Besar Emeritus Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochtar Pabottingi, ekonom senior Emil Salim, advokat senior Albert Hasibuan, mantan Komisioner KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan sejumlah pakar hukum tata negara.
"Saya ingin menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kebakaran hutan, Papua, dan Undang-undang KPK RUU KUHP, dan terakhir soal demonstrasi-demonstrasi," ujar Jokowi membuka pertemuan itu. "Saya juga ingin menegaskan kembali komitmen saya pada kehidupan demokrasi di Indonesia bahwa kebebasan pers dan menyampaiakn pendapat adalah pilar demokrasi yang kita pertahankan. Jangan sampai bapak ibu sekalian meragukan komitmen saya terkait ini."
Setelah itu pertemuan belangsung tertutup. Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari yang turut hadir dalam perjamuan tersebut mengatakan presiden memulai dengan menjabarkan soal peristiwa kebakaran hutan yang terjadi di beberapa daerah serta penanganannya dan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. "Tapi kami tahu bahwa pertemuan itu pada dasarnya ingin membahas revisi UU KPK," ujar Feri pada detik.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti yang ditunjuk sebagai juru bicara tetamu presiden juga memilih tak membahas UU KPK di awal. Ia lebih dulu memberi apresiasi langkah presiden menunda pembahasan RUU KUHP. Pendiri dan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera itu lalu memaparkan persoalan KUHP yang saat ini disebut produk peninggalan KUHP, namun revisinya justru membawa masalah.
"Kami mengatakan soal produk itu produk kolonial atau tidak bukan hanya dilihat dari kapan dibuat. Namun juga apakah kontennya baik atu tidak. KUHP ini hasil revisinya justru ada sejumlah pasal hak-hak privat warganegara mau dimasuki oleh negara," ujar doktor ilmu hukum dari University of Washington di Seattle, Amerika Serikat itu. "Wacananya mengganti produk kolonial tapi penggantinya lebih kolonial."
Selesai memberi catatan kritis pada RUU KUHP, barulah Bivitri masuk pada UU KPK yang baru saja disahkan. Sejumlah hasil simulasi soal bagaimana kewenangan KPK terutama yang berkaitan dengan independensi dengan undang-undang baru itu dipaparkan pada Jokowi. "Setelah disimulasikan pasal per pasal pimpinan KPK tidak punya kewenangan. Semuanya ke dewan pengawas. Bahkan untuk sprindik harus ke kepolisian dan kejaksaan," ujar Bivitri.
Ia menyebut satu-satunya jalan saat ini adalah penerbitan Perppu oleh Jokowi. Cara ini terbaik karena UU yang dihasilkan berbeda dengan yang presiden bayangkan ketika dia setuju untuk membahas UU tersebut," ujar Bivitri. "Kami waktu itu mencoba memberi informasi yang lebih akurat pada presiden yang tampaknya sedikit salah paham soal kewenangannya itu. Perppu menurut konstitusi betul-betul wewenang mutlak presiden. Tidak tergantung kondisi UU itu berasal dari DPR atau pemerintah."
Feri yang juga pakar hukum tata negara, menambahkan saran agar membawa UU KPK ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji formil dan materi tidak tepat. Gelombang protes masyarakat tidak akan berhenti bahkan justru semakin panjang. "Saya sampaikan ke presiden, ini sama saja akan membiarkan presiden berada di pusaran konflik. Ini tidak baik bagi presiden dan masyarakat luas."
Dua jam lebih pertemuan yang dimulai pukul 14.15 berlangsung diselingi makan bakso bersama. Selain Bivitri dan Feri, sejumlah tokoh menyampaikan pendapatnya pada presiden. Bahkan ada yang menyampaikan kritiknya dengan terbuka. "Dalam pertemuan itu beberapa senior mengkritik presiden dengan keras," ujar seniman asal Yogyakarta Butet Kartarejasa pada detikcom.
Kritikan tajam itu, kata Bivitri bukan dalam konteks menyudutkan presiden. Namun untuk menguatkan Jokowi agar tetap berpihak pada kepentingan publik dan berdiri bersama masyarakat. "Mochtar Pabottingi misalnya memberikan pandangannya yang tajam soal pentingnya KPK dibantu," ujar Bivitri.
Presiden masih gamang. Jokowi khawatir Perpu tersebut nantinya akan mentok dalam pembahasan dengan DPR. Giliran Quraish Shihab yang memberi masukan. "Presiden pun sempat menyebut Perppu berat karena harus disetujui DPR. Pak Quraish Shibab bilang tidak apa-apa. Biar semua orang tahu siapa yang sebenarnya mau memperlemah KPK dan siapa yang tidak," ujar Bivitri.
Seusai pertemuan tersebut, Jokowi menyatakan pada pers yang sudah menunggu mempertimbangkan penerbitan Perppu untuk menganulir revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi. "Banyak masukan dari para tokoh tentang pentingnya diterbitkannya Perpu. Akan kita kalkulasi, hitung, dan pertimbangkan terutama dari sisi politiknya dalam waktu secepat-cepatnya," ujar Jokowi. dtc