Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pancasila lahir sebagai konsensus kebangsaan dan disepakati sebagai jalan hidup bangsa Indonesia, yang tertuang dalam prinsip ketuhanan (religiusitas ), Kesetaraan dalam pengakuan hak asasi manusia, persatuan dalam persaudaraan, demokrasi yang bersandar pada musyawarah dan gotong royong dan mewujudkan keadilan sosial.
Pancasila yang pada dasarnya digali dari kearifan kultur dan budaya khas bangsa, dengan lima sila sebagai panduan bangsa Indonesia untuk melintasi tantangan zaman, telah membuktikan relevansinya dalam setiap perjalanan waktu. Ujian dan tantangan serta faktor penghambat lain yang secara langsung ataupun tidak langsung telah dilewati dalam proses sejarah panjang bangsa Indonesia yang terus berlangsung sampai hari ini.
Pancasila Arah dan Nilai
Nilai ketuhanan adalah sumber etika dan spiritualitas, yang sangat berkaitan dengan keyakinan setiap manusia dalam aspek kehidupan individu, kelompok dan bangsa. Nilai yang mengedepankan perilaku kejujuran, ketaatan dan kebaikan. Dengan negara yang dihuni multi agama dan keyakinan, tugas negaralah melindungi dan mengambil jarak yang sama terhadap semua agama/keyakinan.
Nilai ketuhanan ini menjadi acuan dalam sistem dan prinsip Kemanusiaan yang adil dan beradab. Nilai yang mengarah pada pernghormatan hak dasar manusia sebagai makluk mulia ciptaan Tuhan. Keluar, bangsa Indonesia aktif dalam mendorong ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan. Ke dalam, negara dan bangsa Indonesia berkewajiban memenuhi hak-hak dasar warga negaranya.
Ketuhanan dan keadilan adalah pondasi pokok dalam mewujudkan prinsip dari Sila Persatuan Indonesia, karena keadilan dalam segala bidang adalah metode terbaik untuk mengatasi perbedaan paham golongan dan perseorangan. Persatuan yang lahir dari keadilan ruang dan perbedaan agama, budaya, bahasa dan suku bangsa dalam wujud kebhinekaan masyarakat Indonesia.
Demokrasi sebagai sistem negara dan pemerintahan sebagai perwujudan pengelolaan regulasi, kebijakan dan aspirasi yang menitikberatkan pada prinsip musyawarah mufakat dan hikmat kebijaksanaan yang tidak didikte oleh golongan mayoritas atau kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha. Sementara sila Keadilan Sosial dapat disimpulkan sebagai tujuan berbangsa dan bernegara.
Politik Identitas dan Disintegrasi Bangsa
Dinamika pergulatan politik nasional dan daerah pasca reformasi, terutama dalam pelaksanaan pemilihan secara langsung, telah memperlihatkan fenomena menguatnya penggunaan tendensi identitas, suku, agama dan ras, untuk mendapatkan pengaruh dan kepentingan perebutan suara, dalam meraih kekuasaan politik serta ekonomi.
Fenomena yang secara sadar atau tidak telah mencerabut kesadaran pluralitas dan multikulturalitas Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Yang pada akhirnya memunculkan pengingkaran kemajemukan, fanatisme kesukuan dan tindakan intoleran, yang menyumbang kontribusi munculnya pertikaian antara penduduk asli dan pendatang yang akan sangat rentan terjadi, seperti peristiwa Sampit di Kalimantan dan yang terakhir peristiwa kerusuhan di Wamena – Papua.
Seringnya persinggungan yang melibatkan identitas, pada akhirnya melahirkan konflik dan kekerasan, dan jika terus direproduksi akan berakibat pada kecenderungan lunturnya kebanggaan sebagai bangsa. Hilangnya kebanggaan tentunya akan sangat berbahaya, karena jika berlarut akan bermuara pada hilangnya rasa nasionalisme.
Kemadirian Ekonomi Pancasila dalam Globalisasi
Pesatnya perkembangan teknologi dalam era globalisasi sangat mempengaruhi berbagai macam aspek kehidupan umat manusia, keterbukaan informasi dan ekonomi tanpa batas sangat berpengaruh dalam membentuk mind set atau pola pikir seseorang, masyarakat baik secara positif ataupun negatif.
Tantangan terberat di sektor ekonomi saat ini adalah ketidaksiapan produk lokal bersaing dengan produk luar negeri, banjirnya produk luar negeri yang masuk tanpa proteksi, dan lemahnya peningkatan kualitas daya saing produk dalam negeri, serta persepsi kebanggaan memiliki produk berasal dari negara lain. Karena produk sendiri dianggap kurang berkualitas, berakibat pada semakin surut kemampuaan produksi dalam negeri untuk bersaing dipasar bebas.
Globalisasi ekonomi sangat erat dengan kebijakan free trade atau sistem pasar yang sangat bebas, terbuka, dalam arus barang, jasa, dan investasi serta aliran modal. Sistem yang seolah menjadi satu-satunya pondasi pembangunan ekonomi yang adil dan pengurangan kemiskinan serta kesenjangan sosial ekonomi di dunia.
Dalam situasi seperti ini, negara sangat berkewajiban untuk mendorong industri lokal dan produk nasional, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia ( SDM ) agar dapat berpengaruh dalam penguasaan panggung ekonomi dan politik dunia. Karena globalisasi yang telah meretas batas negara dan ekonomi, juga telah mengubah tatanan masyarakat secara sosial, politik dan kebudayaan. Ketika negara lemah dalam melindungi aset dan potensi ekonomi warganya, maka dampak negatifnya adalah negara akan mudah dikuasai oleh negara lain atau sering disebut dengan penjajahan ekonomi.
Pancasila sebagai Moralitas Politik
Pertikaian elite politik bangsa serta seringnya terjadi konflik antar lembaga negara belakangan yang menjadi tontonan terbuka saat ini adalah cermin dari menurunnya praktek musyawarah, toleransi terhadap sesama, hikmat dan bijaksana, sebagai nilai dasar dalam pengambilan keputusan.
Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam membentuk regulasi atau kebijakan hingga menjalankan roda pemerintahan menjadi gambaraan nyata dari rendahnya keteladan dan kesadaran moral para elit politik untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman moralitas.
Seharusnya setiap regulasi atau paket kebijakan yang ditetapkan oleh DPR dan pemerintah adalah manifestasi dari nilai yang terkandung dalam Pancasila, yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan sumber daya alam dan akses terhadap sumber ekonomi, mendorong kesetaraan dan distribusi pembangunan yang merata, hingga mewujudkan pemerintahan yang bersih, jujur dan terpercaya sebagai wujud dari pengamalan kelima sila Pancasila
Memastikan Kesaktian Pancasila
Peringatan hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober setiap tahunnya sebagai momentum mengenang upaya penggantian Pancasila sebagai pedoman dan jalan hidup bangsa Indonesia pasca peristiwa G30 S pada 54 Tahun, tentunya membutuhkan perenungan akan nasib Pancasila ke depannya.
Sejarah implementasi Pancasila telah sangat komplit ditafsirkan dan dijalankan. Bagi Presiden Soekarno, Pancasila adalah alat pemersatu untuk menghantam apa yang disebutnya bahaya neokolonialisme dan neoimperialisme (Neokolim). Pada zaman Presiden Soeharto, Pancasila dijadikan “ Ideologi Negara ” untuk membenarkan kekuasaan politik otoritarianismenya. Pasca reformasi 1998, semakin banyak tantangan yang harus dihadapinya.
Menguatnya karakteristik masyarakat individualis, komsumtif dan materialis, sebagai dampak dari globalisasi, menjadi ujian bagi kesaktian Pancasila dalam mengarungi zaman. Revitalisasi dan aktualisasikan Pancasila untuk dilaksanakan pedoman bagaimana semestinya dijalankan negara. Yakni Pancasila yang hidup dalam realita, tidak hanya sebatas retorika atau verbalisme dipentas politik. Tetapi menjadikannya sebagai rujukan dan orientasi kebijakan pembangunan Indonesia, atau kesaktiannya akan memudar dan bahkan tumbang ditelan etnonasiolisme dan liberalisme.
*Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya . Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 px) Anda ke [email protected].