Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Dalam pengaduan masyarakat adat Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) kepada Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Selasa (8/10/2019), dikisahkan soal sejarah tanah yang sudah mereka tinggali selama 8 generasi. Kemudian dikuasai perusahaan penghasil bubur kertas, PT Toba Pulp Lestari (TPL), atas nama konsesi hutan tanaman industri yang diberikan pemerintah. Dan perjuangan mereka agar tanah milik leluhurnya itu bisa kembali dikuasai dan diusahai.
Disebutkan Ketua Umum Lamtoras, Judin Ambarita (Ompu Sampe), tanah yang mereka perjuangkan seluas 2.049 Ha. Berlokasi di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Pada tahun 1910-an tanah tersebut dipinjamkan kepada Belanda guna dijadikan hutan pinus.
Sepeninggal Belanda, akibat Negara Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya, tanah tersebut ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan. Kepada PT TPL pada tahun 1990-an lahan diserahkan dengan status konsesi hutan tanaman industri.
"Masyarakat sangat paham bahwa tanah adat Sihaporas memang urusan pemerintah pusat. Pada zaman orde baru yang dipimpin Soeharto, siapa yang berani melawan," ujar Judin, didampingi Wakil Ketua Umum, Mangitua Ambarita (Ompu Moris) dalam keterangan tertulisnya.
Pada era reformasi, terang Mangitua, masyarakat adat Sihaporas ikut berjuang. Terlibat dalam unjuk rasa bersamaan dengan gerakan massa di kawasan Porsea dan Danau Toba menolak beroperasinya PT Inti Indorayon Utama (nama awal PT TPL). Hasilnya, oleh pemerintah PT IIU ditutup operasionalnya hingga 21 Juli 1998.
"Pada saat itu kami warga Sihaporas ikut demonstrasi. Lalu kami menduduki lahan. Akibat memperjuangkan tanah adat itu, tiga warga Sihaporas ditangkap, termasuk saya terpenjara dua tahun," ujarnya.
Tahun 1999, DPRD Kabupaten Simalungun telah mengecek ke lokasi. Dari situ kemudian terbit rekomendasi Komisi A yang mengatakan adanya bukti-bukti bahwa Desa Sihaporas telah dihuni sejak lama.
Antara lain ditandai dengan adanya kolam besar milik warga kampung. Adanya perkampungan yang dikelilingi parit sedalam kurang lebih 3 meter, bekas pekan/onan atau pasar tradisional yang dikelilingi timbunan tanah, kuburan tua, pohon bambu dan sebagainya.
"Berdasarkan rekomendasi DPRD tersebut, Bupati Simalungun, John Hugo Silalahi sempat berjanji mengembalikan tanah seluas 150 Ha. Namun karena jumlah masyarakat sudah bertambah banyak, ratusan keluarga, kami meminta setidaknya separuh dari tuntutan kami, yaitu 1.500 hektar," jelas Mangitua.
Oleh Bupati, karena permintaan tanah yang harus dikembalikan dalam luasan besar, dia menyerah. Dianjurkannya masyarakat mengajukan permohonan ke pemerintah pusat.
"Sejak awal berjuang masyarakat adat Sihaporas tahu bahwa perjuangan tanahnya harus mengarah pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Untuk itu, kami sudah dua kali bertemu Menteri Siti Nurbaya. Juga pernah bertemu Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan serta pihak terkait lainnya," ungkap Judin.
Mereka meminta kepada Presiden Jokowi dan Menteri LHK agar mengembalikan tanah adatnya. Tidak akan terjadi bentrok antara warga dengan TPL jika pemintaan itu dipenuhi.
"Sebab tanah adat kami sudah lama, terbukti terdapat di dalam peta Enclave Belanda tahun 1916," ujar Judin.