Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Jokowi tak lagi sungkan menyampaikan obrolannya dengan Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono maupun Prabowo, yaitu soal koalisi. Dua hari Jokowi bergantian bertemu kedua tokoh itu pada Rabu (10/10/2019) dan Kamis (11/10/2019) di Istana Negara Jakarta.
"Untuk urusan (itu) saat ini belum final tapi kami tadi sudah berbicara banyak mengenai kemungkinan Partai Gerindra untuk masuk ke koalisi kita," kata Jokowi kepada pers.
Bak gayung bersambut, Prabowo juga tak lagi sungkan. "Apabila kami diperlukan, kami siap untuk membantu. Kami akan memberi gagasan, yang optimis, kami yakin Indonesia bisa tumbuh double digit, kami yakin Indonesia bisa bangkit cepat,” kata Prabowo.
Padahal, koalisi pendukung Jokowi, yang terdiri dari PDIP, Golkar, NasDem, PKB, dan PPP sudah memiliki 349 kursi atau 60% kursi DPR. Gabungan partai nonkoalisi hanya 226 kursi atau 40% kursi DPR.
Misalkan, Gerindra dan Demokrat benar-benar bergabung, maka jumlah kursi pro-Jokowi menjadi 481 kursi atau 84% kursi DPR. Kursi tersisa yang dimiliki PKS dan PAN hanya 94 kursi atau 16%.
Wah, itu sudah melampaui kursi Golkar sebagai mesin politik orde baru yang mencapai 299 kursi atau 74,75% pada Pemilu 1987. PPP cuma 15,25% dengan 61 kursi di DPR. Sementara PDI hanya meraup 10% atau 40 kursi di DPR.
Golkar memang kian melejit pada Pemilu 1987. Tiga Pemilu sebelumnya, Golkar hanya meraih 65,55% pada Pemilu 1971, 64,44% pada 1977, dan 67,22 pada 1982
PPP turun drastis. Padahal, perolehan suara partai hasil fusi parpol-parpol Islam ini pada Pemilu 1982 masih 26,11% atau 94 kursi. Adapun PDI pada Pemilu 1982 hanya memperoleh 6,66% atau 24 kursi di parlemen.
Jika ditilik-tilik, Soeharto melumpuhkan parpol selain Golkar dengan cara mewajibkan parpol dan Golkar berasas tunggal Pancasila. Yakni, dengan berlakunya UU No. 3/1985. PPP harus menanggalkan asas Islamnya dan mengubah lambangnya dari Kakbah menjadi bintang.
Bahkan, ada larangan pembentukan cabang partai di kabupaten kota hingga desa alias floating mass (massa mengambang) yang merugikan PPP dan PDI. Namun menguntungkan Golkar karena bisa mengerahkan kaum birokrat untuk memobilisasi peranan bupati, wali kota, camat dan kepala desa terhadap Golkar.
Lain zaman memang lain pula caranya. Agar menguasai parlemen, Jokowi tampaknya mencoba merayu Gerindra dan Demokrat berkenan masuk ke kabinet.
Jika hal itu benar-benar terjadi, mudah-mudahan peranan DPR sebagai check and balance tidak sampai melemah karena PAN dan PKS hanya 16% di parlemen. Semoga tidak mengulangi era orde baru yang diibaratkan bagai “ban kempes” karena Golkar sebagai kekuatan single majority.
Bahkan, saya kira koalisi parlemen dengan tujuh partai, jika Gerindra dan Demokrat bergabung, tetap rentan bersimpang jalan. Kepentingan politik mereka akan berbeda, apalagi menjelang Pemilu 2024 ketika Jokowi tak lagi mencalonkan diri.