Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Misalkan, Gerindra dan Demokrat bergabung dengan koalisi parpol pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin, apa yang akan kita katakan? Saya kira, itu menandai bahwa dunia politik kita semakin profan. He-he, semakin sekular dan duniawi.
Padahal ketika masa kampanye dulu, kita menyaksikan kedua kubu – Jokowi dan Prabowo -- selalu berada pada kutub yang berseberangan. Misalnya, pandangan mereka dalam membangun negeri ini, baik masalah infrastruktur, impor pangan dan sebagainya.
Perbedaan itu malah merasuk ke akar rumput. Sampai-sampai muncul istilah, maaf, “kecebong” dan “kampret.” Bahkan terjadi saling sindir di media sosial. Debat yang tajam antarcapres-cawapres dan antarpolitikus kedua kubu juga memanas.
Tapi ketika muncul fenomena saling bermesraan antara Jokowi dan Prabowo serta Susilo Bambang Yudhoyono, apa gerangan musababnya?
Sejauh yang kita cermati, terdengarlah alasan demi kepentingan yang lebih besar. Yakni, kepentingan bangsa dan negara. Toh, Pemilu dan Pemilihan Presiden (Pilpres) sudah usai. Masa berseteru sudah the end, dan kini tiba masanya bersekutu.
Perbedaan visi dan misi serta flatform dan program semasa kampanye rasanya menjadi kehilangan makna. Padahal perbedaan itu juga didasari demi kepentingan bangsa dan negara. Seolah-olah kedua kubu disergap amnesia historis.
Kita tidak tahu apakah “bermesraannya” tokoh-tokoh tersebut kelak akan berujung dengan diakomodasinya elite partai politik di luar koalisi pendukung Jokowi ke dalam kabinet.
Sekiranya terjadi, lagi-lagi akan muncul pembenaran bahwa itu justru demi kepentingan bangsa dan negara. Semakin lentur, meski dulu semasa kampanye tujuan praktisnya pun demi merebut pemerintahan baru.
Eh, muncullah pragmatisme. Jika sepakat berkoalisi, toh memungkinkan terjadinya distribusi kekuasaan, mengapa tak dilakukan? Apalagi penunjukan menteri adalah hak prerogatif pesiden yang tentu saja konstitusional belaka.
Jadilah dunia politik kita semakin profan. Semakin duniawi. Kian rasional. Who gets what and When, dipandang hal yang demokratis belaka.
Tentu saja, politik bukan sesuatu yang sakral, bagaikan agama-agama langit. Tapi politik adalah medan perjuangan yang serius dan sustanaibel. Ada konsistensi, dan konsekwensi. Ada idealime untuk memperjuangkannya.
Bukan sekadar diukur dengan kepentingan yang pragmatis. Bukan pula otak-atik logika dan merumuskan “jalan tengah” yang adaptatif dan akomodatif.
Saya hanya khawatir jika narasi bahwa yang menang dalam Pemilu akan berkuasa dan yang kalah menjadi oposisi, sehinggga ada check and balance hanya tersemat dalam teks demokrasi. Tapi jika dunia politik kita semakin duniawi, mau bilang apa?