Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Untunglah, PAN dan PKS tidak tergoda merapat ke pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Tapi tetap konsisten sebagai partai oposisi. Jika kedua parpol itupun ikut bergabung, saya khawatir Jokowi-Ma’ruf tidak dapat mengetahui jika ada “somethings wrong” di tengah-tengah masyarakat.
Pecinta demokrasi pun bersuka-cita karena tidak akan mendengar suara koor pertanda setuju belaka terhadap kebijakan pemerintah di DPR. Situasi muram ini pernah terjadi ketika Golkar berkuasa di masa orde baru.
Memang, melihat peta politik di DPR, koalisi pendukung Jokowi, yang terdiri dari PDIP, Golkar, NasDem, PKB, dan PPP sudah memiliki 349 kursi atau 60% kursi DPR. Gabungan partai nonkoalisi, Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS hanya 226 kursi atau 40% kursi DPR.
Bahkan, jika Gerindra dan Demokrat benar-benar bergabung, maka jumlah kursi pro-Jokowi menjadi 481 kursi atau 84%. Kursi tersisa yang dimiliki PKS dan PAN sangat kecil, hanya 94 kursi atau 16%.
Kekuatan partai oposisi memang semakin menciut jika dibandingkan dengan peta 2014-2019. Semula koalisi pemerintahan yang terdiri dari PDIP, PKB, Nasdem, PPP dan Hanura hanya sekitar 45%.
Eh, belakangan Golkar dan PAN bergabung dengan koalisi Jokowi-JK. Akibatnya, koalisi ini nyaris menguasai 70% kursi di parlemen.
Kekuatan partai oposisi pada Pemilu 2009 juga sekitar 30%, yang terdiri dari PDIP, Gerindra dan Hanura. Suasana perpolitikan pun menjadi demokratis karena adanya check and balance.
Saya kira baik parpol yang berkoalisi dengan pemerintahan maupun partai oposisi sama-sama menyetujui mekanisme check and balance. Semuanya tak menghendaki iklim politik orde baru yang didominasi oleh Golkar sebagai single majority.
Jalannya pemerintahan orde baru dari luar tampak stabil. Padahal sesungguhnya semu, karena siapa yang berbicara “lain” bisa berakibat buruk. Kita masih ingat kematian hak-hak perdata yang menimpa anggota Petisi 50 yang kritis kepada Soeharto.
Bahkan ketua PPP dan PDI bisa jatuh bangun, tergantung siapa yang mau patuh kepada rezim. Jika banyak cingcong akan disingkirkan seperti nasib yang dialami oleh John Naro dan Megawati.
Apalagi ke depan masih banyak masalah krusial bangsa. Di bidang ekonomi, kedaulatan industri domestik kita masih loyo bersaing dengan barang impor. Kakao saja kita ekspor ke Malaysia dan dikirim lagi ke Indonesia berupa barang jadi.
Sebagai negara agraris, kita malu harus mengimpor kedelai, garam, gula, beras dan lainnya. Tak heran jika defisit neraca perdagangan masih menganga lebar.
Tak ayal, keberadaan partai oposisi menjadi mitra kritis bagi pemerintah. Tanpa partai oposisi rasanya hambar bak gulai tanpa garam.