Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Di Sumatra Utara, nama NA Hadian adalah jaminan kualitas sebuah puisi. NA Hadian dikenal sebagai penyair dengan puisi-puisinya yang cenderung pendek, dengan semangat pemberontakan. Kedalaman makna dan diksi yang unik adalah ciri lain puisinya.
Di Sumatra Utara, NA Hadian mendapat posisi terhormat. Ia dijuluki "Penyair Tanpa Tanah Air" "Presiden Penyair Sumatra Utara" dan sebagainya.
Menjelang akhir hidupnya, NA Hadian sempat kesulitan secara ekonomi. Ia harus berkeliling menjual puisinya secara person to person. Meski menghadapi kerasnya kehidupan, NA terus menulis puisi. Bahkan dalam kondisi sakit sekalipun ia tetap menulis puisi. Sayang, puisi-puisinya itu tidak terdokumentasi dengan baik, sampai kemudian ia meninggal 23 Maret 2007.
Untuk mengumpulkan puisi-puisi NA Hadian, sejumlah penyair yang biasa berkumpul di Taman Budaya Sumatra Utara Medan pun berinisiatif menerbitkan kumpulan puisinya. Mereka adalah Porman Wilson Manalu, Tsi Taura, Teja Purnama dan Yulhasni. Buku kumpulan puisi kemudian diberi judul "Catatan dari Kamar Tua" itu dicetak dan diedarkan secara guyub ke lembaga dan personal.
"Tak ada istilah launching. Tapi buku ini sudah diedarkan ke lembaga-lembaga maupun pribadi-pribadi," kata Porman kepada medanbisnisdaily.com, Sabtu (19/10/2019).
Porman mengaku kagum dengan puisi-puisi NA Hadian. Menurutnya, puisi-puisi NA Hadian menampilkan sikap dan pilihannya sebagai penyair dunia yang tak punya tanah air. Dia selalu mengatakan, puisinya tidak bertanah air. Karena ia merasa puisinya milik semua orang. Milik siapa saja yang menginginkan kemanusiaan yang lebih baik, kata Porman.
"Bagi yang berminat buku ini, bisa berkomunikasi dengan penggagas buku ini. Ini adalah cara kita menghargai karya seseorang, paling tidak agar karya itu terdokumentasi dan menjadi pelajaran bagi semua orang," katanya.