Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Di awal Orde Baru tak dikenal Menteri Koordinator alias Menko. Koordinasi langsung dilakukan oleh presiden Soeharto.
Di sebuah buku, Frans Seda berkisah bahwa pada era 1966-1968, ada Dewan Stabilisasi, terdiri dari Sub Dewan Moneter diketuai Menteri Keuangan. Subdewan Distribusi dipimpin Menteri Perdagangan dan Subdewan Produksi diketuai Menteri Pertanian. Para ketua Subdewan melapor ke presiden sekali seminggu.
Maklum, kala itu rupiah inflasi sampai 600% dan harga-harga barang melambung, sehingga muncullah Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) dari mahasiswa, yang salah satunya menggugat agar harga-harga barang diturunkan.
Barulah pada 1969, kabinet dibagi dalam delapan bidang. Saban menteri berkoordinasi dengan menteri terkait. Komunikasi lancar, termasuk dalam mencari solusi. Jika seorang menteri melapor ke presiden, dan solusinya menyangkut menteri lain, maka operasionalnya dikomunikasikan dengan menteri terkait tersebut.
Pokoknya, tidak ada ego sektoral. Misalkan saja ada kasus busung lapar di sebuah daerah, tak hanya Menteri Kesehatan yang pontang panting. Tapi juga Menteri Perekonomian, Kepala Bappenas, Kepala BPN, Menteri Pertanian dalam mencari solusi jangka darurat, menengah dan panjang.
Mereduksi masalah bahwa kasus kurang gizi adalah urusan Menteri Kesehatan, jelas cara pandang “berkacamata kuda.” Mengangap itu hanya urusan otonomi daerah juga tak tepat.
Dalam konteks kekinian, pembangunan jalan tol juga harus melibatkan Kepala Daerah dan Kementerian Pertanian. Apakah misalnya jalan tol itu bermanfaat bagi petani di basis produksi?
Kasus kriminal tak hanya melibatkan kepolisian. Tapi juga kementerian Tenaga Kerja, karena boleh jadi kasus kriminal itu karena masalah penganguran.
Bagaikan Pasar
Menteri adalah sumber informasi presiden terpercaya, meski dulu sempat terdengar istilah ABS, asal bapak senang. Apalagi kini komunikasi sudah sangat canggih, sehingga aliran informasi ke presiden dan antarmenteri seharusnya mengalir dengan efektif dan efisien.
Dulu menteri sekaligus “penasehat” presiden. Kala bertemu saban Kamis di gedung Bank Indonesia, mereka menanggalkan baju menteri. Tidak ada ego sektoral departemen. Jika antarmenteri berdebat boleh saja. Tapi tidak sampai masuk ke surat-kabar.
Saat bertemu presiden, suasana relaks. Yang menang, jika pun ada perdebatan adalah pikiran dan argumentasi. Bukan departemennya. Urusan satu-satunya adalah kepentingan bangsa, negara dan rakyat.
Adapun kontrol sosial kala itu tajam disuarakan oleh KAMI dan KAPPI, kaum mahasiswa, pemuda dan pelajar yang ikut mendirikan Orde Baru. Namun presiden tak marah, juga saat mendengar kritik dari parlemen dan pers.
Sayang, belakangan Orde Baru menjadi sangat represif. Muncullah stigma anti-pembangunan terhadap kekuatan berbau oposisi.
Di awal Orde Baru, peranan tokoh berwibawa, berilmu, konsisten, jujur dan berdedikasi tinggi juga sangat penting. Kala itu, Menteri/Ketua Bappenas ekonom Wijoyo Nitisastro sangat disegani oleh para menteri, bahkan juga oleh presiden. Masih adakah figur macam Wijoyo sekarang?
Wijoyo bukan pemimpin partai politik. Ia tak punya basis massa, seperti politikus. Tapi dedikasi dan komitmennya telah menjalar ke segenap menteri di tubuh kabinet.
Yang repot, jika para menteri memafaatkan kabinet untuk kepentingan parpol darimana ia berasal. Jadilah kabinet bagaikan “pasar” dan para menteri “berbelanja” untuk kebutuhan partainya.
Kisah masa silam ini, mungkin berguna bagi kabinet Jokowi Jilid II. Tak semua juga buruk dari era Orde Baru. Ada juga yang patut dicontoh. **