Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Indonesia merupakan negara pencetus perjanjian dagang Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) saat menjabat sebagai Ketua ASEAN pada tahun 2011. Sudah tujuh tahun berlalu, RCEP tak kunjung sampai pada status rampung. Hingga saat ini, perjanjian dagang antara 10 negara ASEAN dengan 6 negara Asia Pasifik tersebut masih dalam tahap perundingan.
Negara-negara yang tergabung dalam RCEP ini yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Brunei Darussalalam, Laos, China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru.
"Sudah lebih dari 7 tahun kita mempimpin pembentukan mega regional Free Trade Agreement (FTA). Konsep ini dicetuskan oleh Indonesia ketika Indonesia menjadi Ketua ASEAN tahun 2011," kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kemendag Iman Pambagyo, di kantornya, Jakarta, Senin (22/10/2019).
Iman mengatakan, saat ini status perundingannya sudah sampai pada 185 pairings atau pasangan bilateral, dari total 225 pairings. Adapun satu pairings dihitung dari perundingan antara masing-masing negara yang terlibat, dan satu sektor. Perlu diketahui, ada tiga sektor dalam RCEP ini yaitu barang, jasa, dan investasi. Misalnya, perundingan sektor perdagangan barang antara Indonesia dengan Australia dihitung sebagai 1 pairings.
"Setelah 7 tahun lebih, status perundingan ini sudah sampai mana? Itu pasti yang ditanyakan. Market access itu ada 225 pasangan bilateral yang merundingkan tiga sektor yaitu barang, jasa, dan investasi. Saat ini 185 pairings sudah memberikan indikasi mereka selesai," jelas Iman.
Sedangkan, 32 pairings masih dalam tahap penyelesaian. Kemudian, 8 pairings sisanya masih memiliki hambatan besar dan perlu perundingan yang intensif.
"32 pairings itu belum selesai benar tapi masih ada kesempatan untuk menyelesaikannya menjadi biru. Ada 8 pairings yang gaps-nya masih besar dan perlu perundingan yang intensif," terang Iman.
Iman mengatakan, dalam merampungkan perjanjian ini memang cukup sulit. Pasalnya, tidak semua negara ASEAN memiliki perjanjian dagang dengan 6 negara Asia Pasifik lainnya atau ASEAN FTA Partners (AFPs). Kemudian, untuk penetapan tarif ekspor-impor yang juga tak bisa didasarkan pada ASEAN+1 FTAs yang sudah ada. Sebab, setiap negara yang sudah menetapkan tarif ke negara mitranya yang juga tergabung dalam RCEP ini besarannya beda-beda.
"Indonesia Koordinator ASEAN untuk RCEP. Nah ASEAN itu tdiak selalu solid karena sensitivitas ASEAN ke mitra perunding yang lain itu berbeda-beda. Kami mengupayakan trade off antara satu perunding dengan perunding yang lain, ini sangat sulit dilakukan karena juga sebaliknya 6 negara Asia Pasifik punya sensitivitas yang berbeda-beda dengan negara ASEAN," papar dia.
Iman mengatakan, untuk penandatanganan kesepakatan RCEP ini akan dilaksanakan pada November 2020. Namun, untuk entry to force atau implementasi perjanjian dagang, ia pun belum mengetahuinya.
"Jadi ini harus melalui proses legal scrubbing kemudian beberapa negara termasuk Indonesia itu memerlukan translasi ke bahasa Indonesia. Kalau berkasnya sudah selesai dilegal scrubbing dan akan diterjemahkan ke bahasa nasional masing-masing negara. Insyaallah November 2020 akan di tanda tangani oleh para menteri. Untuk entry to force kapan kita belum tahu. Sejujurnya legal scrubbing tahun depan juga sangat sulit," tutupnya.
Perlu diketahui, RCEP ini adalah perjanjian dagang antara 10 negara ASEAN dengan 6 negara Asia Pasifik yang memudahkan segala proses perdagangan barang, jasa, dan investasi dari segi tarif, maupun perizinan.
Untuk tahap-tahapnya hingga nanti RCEP rampung dan dapat diimplementasi, dimulai dari tahap pembahasan, penandatanganan kesepakatan atau conclude, legal scrubbing atau pencocokan hukum dari masing-masing negara, dan terakhir proses ratifikasi.(dtf)