Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Indonesia merupakan negara pencetus perjanjian dagang Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) saat menjabat sebagai Ketua ASEAN pada tahun 2011. RCEP ini perjanjian dagang antara 10 negara ASEAN dengan 6 negara Asia Pasifik yang memudahkan segala proses perdagangan barang, jasa, dan investasi dari segi tarif, maupun perizinan.
Negara-negara yang tergabung dalam RCEP ini yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Brunei Darussalalam, Laos, China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru.
Lalu, apakah dengan perdagangan bebas ini Indonesia bakal kebanjiran barang impor?
Menjawab kekhawatiran tersebut, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kemendag Iman Pambagyo mengatakan, perdagangan bebas di era saat ini memang tak ada batasnya. Menurut Iman, jika Indonesia menutup diri dari perjanjian dagang atau serangan impor justru akan tertinggal dalam persaingan global.
"Kita harus melihat pasar dunia dan pasar Indonesia itu gak ada batasnya. Apalagi sudah bicara digital ekonomi. Intinya, kalau kita selalu melihat Indonesia itu seperti punya pintu untuk bertahan dari serangan impor, kalau konsepnya begitu Indonesia akan semakin tertinggal. Kita tak akan unggul dalam perdagangan global," terang Iman di kantornya, Jakarta, Selasa (22/10/2019).
Iman menuturkan, masyarakat Indonesia cenderung melihat kebijakan impor sebagai suatu kesalahan. Padahal, kata Iman, RI saja tergabung dalam negara-negara G20 dan diprediksi menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh pada tahun 2030. Iman mengartikan, rasa takut terhadap impor itu tak cocok dengan kondisi persaingan global saat ini.
"Kita cenderung melihat kita sebagai victim, seperti katak dalam tempurung. Padahal kita anggota G20, diprediksi 2030 menjadi ekonomi terbesar ketujuh, 2050 keempat. Tapi sikap kita tuh sikap orang ketakutan. Tapi perundingan ini kan nggak bisa menunggu, pasar itu akan diambil orang kalau kita nggak ambil sekarang. At least kita secure dulu, kalau kemudian ada tantangan itu pasti," papar dia.
Ia memprediksi, memang pada saat RCEP diimplementasikan, pada tahun-tahun pertama neraca dagang RI akan defisit karena banyaknya impor barang modal dari investasi asing. Namun, ia memprediksi juga setelah tahun 2040 maka neraca dagang Indonesia akan membaik seiring dengan peningkatan ekspor.
"Kalau RCEP seperti itu, tahun-tahun pertama sampai 2040-an kita akan defisit. Setelah tahun 2040 itu akan naik, dan mulai jaya wijaya itu setelah semuanya jalan, investasinya sudah jalan. Terus kita sudah mampu naik mata rantai nilai dengan investasi yang masuk. Jangka panjang sih," ucapnya.
Sebelumnya, ia memprediksi RCEP ini mendongkrak ekspor Indonesia sebesar 8-11% di 5 tahun pertama pelaksanaan, dan 18-22% di 5 tahun selanjutnya.
"Dari segi perdagangan 5 tahun pertama Indonesia entry to force, melaksanakan perjanjian ini, 5 tahun pertama ekspor kita bisa meningkat sekitar 8-11%. Setelah 5 tahun pertama tadi, kita bisa meningkat lebih tajam lagi 18-22% itu kalau didukung oleh investasi yang masuk," tutur Iman.
Meski begitu, ia mengungkapkan, untuk membangun ketahanan ekonomi Indonesia dalam RCEP ini, maka sumber daya manusia (SDM) harus diperkuat. Hal tersebut, kata Iman, akan memberikan penguatan kualitas dalam industri-industri yang menghasilkan produk dengan daya saing kuat.
"Kita harus bangun daya saing, daya saing itu kita harus bisa mempunyai produk barang dan jasa yang bisa bersaing dengan produk luar negeri dari segi kualitas dan harga. Untuk itu butuh dukungan SDM Itu salah satu hambatan kita untuk mendorong proses industrialisasi itu," tandas Iman.
(dtf)