Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya terkenang Bang Burhan Piliang ketika membaca cuitan Yan Amarni Lubis di facebook, Minggu (27/10) lalu. Yan, seniman teater dan fim itu menulis tentang lima anak muda, Burhan Piliang, Mazwad Azham, Rusly Mahady, Iskak S, dan Sori Siregar yang mendirikan Teater Naional (TENA) Medan pada 28 Oktober 1963, 56 tahun yang silam.
Ingatan saya pun melayang pada 31 tahun yang lalu. Ketika itu, saya dan Bang Bur, begitu saya memanggilnya, asyik menonton tarian seudati pada Festival Kebudayaan Aceh pada 1988.
Di bawah langit berbintang, saya terpesona melihat pemuda-pemuda yang bibirnya berlagu lantang diselai tepukan dada itu. "Dada mereka mengeluarkan bunyi karena kulit kerbau untuk gendang dari Mataram hanya sampai di tanah Batak dan Minang," terdengar celutukan di belakang saya.
Dialah Burhan Piliang, fotografer Majalah TEMPO, teman saya meliput dari Medan. "Tapi tidak karena itu Aceh pernah memberontak kepada pusat," sahutku. Kami tertawa berderai.
Burhan yang kemudian eksodus ke majalah EDITOR dan PROSFEK, memang bukan cuma seorang fotografer andal, tetapi juga seniman teater yang kerap menyutradarai pentas Teater Nasional (TENA) Medan.
Terakhir, pada 1986, ia menyutradarai lakon drama "Tok-Tok" karya Ikranegara di Taman Budaya Medan. Saya produsernya dan bekerja-sama dengan LBH Medan saat dipimpin Bang Kamaludin Lubis.
Para hakim, laywer, jaksa, polisi, dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum serta penonton umum membludak di auditorium Taman Budaya Medan selama dua malam. Lakon "Tok Tok" yang berkisah tentang "Mafia Peradilan" itu dibuka oleh Buyung Nasution, si advokad kondang berambut putih.
Jantung saya berdebar khawatir pentas menjadi urusan aparat keamanan. Maklum, "Tok Tok" menyingkap betapa hukum di masa Orde Baru dikendalikan militer. Seseorang yang digambarkan seperti Rambo, dengan M-16 di tangan nampak di layar siluet panggung yang menyimbolkan betapa hukum terselempit di selangkang kekuasaan bedil.
Kredo Burhan
Membaca resensi beberapa koran Medan, yang memuji pertunjukan itu sebagai pentas paling bagus di kota itu, Burhan senyum dikulum.
Padahal seingat saya, saat latihan anak-anak TENA, Burhan bukan sutradara yang membentak-bentak pemain, walau jauh waktu sebelumnya ia pernah melemparkan sandal kepada seorang pemain yang tak becus berlatih.
"Kau masuk ke dalam tokoh cerita itu dengan segenap jiwa-ragamu," katanya kepada para pemain. "Angkat sedikit lagi vokalmu, jangan terlalu tinggi. Nah, pas..," seru Burhan lagi.
Jika memberi wejangan kepada para aktor, suara Burhan selalu pelahan. Orang yang semula ingar-bingar menjadi sepi. Ada kharisma pada karakter suaranya. Agak memukau.
Juga jika ia manggung seperti saat memainkan lakon "Kapai-Kapai" karya Arifin C Noer dalam pentas TENA bersama Dahri Uhum Nasution, yang pernah saya lihat puluhan tahun yang lampau.
Burhan tidak akan memulai dialog tokoh yang dimainkannya sebelum ia masuk ke tokoh karakte lakonnya. Inner acting itulah yang kemudian memukau penonton. Bukan Burhan yang sehari-hari.
Kredo itulah yang diterapkannya saat menyutradarai “Tok, Tok.” Pesan lakon pun sampai ke benak dan batin penonton saat pentas bubar. Penonton pulang ke rumah seperti diberi inspirasi tentang hidup, yang dalam hal "Tok Tok" adalah penyadaran hukum.
Teater telah menjadi media yang ampuh. Meski diperlukan peranan pemerintah untuk menyediakan sarana dan dana pendukung. "Saya hanya punya aktor dan cerita, sedang pemerintah punya kekuasaan," kata Burhan kepada saya, kala itu.
Sekarang kehidupan teater di kota Medan agak prihatin. Kita kesal karena pemerintah kurang peduli kepada teater (dan seni) sebagai sebuah sumber inspirasi dalam melihat kehidupan, termasuk pembangunan, pemakmuran rakyat dan pencerdasan bangsa.
Saya ingat saya pernah berpolemik dengan Burhan di Ruang Budaya WASPADA pada 1974 silam. Burhan menulis, bahwa seni adalah kebutuhan rohani yang mendesak ditunaikan. Bukan cuma beras, jembatan, kantor megah dan lainnya.
Burhan benar. Kota Medan tak hanya butuh plasa, carre four, mal megah dan bangunan menjulang. Tetapi juga teater, dan cabang seni lainnya, termasuk filsafat.
Tiba-tiba saya ingat tragedi kecelakaan heli Bolcow HS 7060 milik TNI AD pada 22 Agustus 1994 di Gunung Sibayak. Salah seorang penumpangnya adalah Bang Bur. Dia sedang membuat film dokumeter tentang PLN. Bang Bur telah pergi mengetuk pintu Tuhannya. Semoga engkau damai di sana. Kami akan selalu mengenangmu.