Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya ingat lagi Lubuk Parira di hulu Sungai Sarudik, Tapanuli Tengah di masa remaja di tahun 1960-an dulu masih dalam. Dari tebing sungai yang tinggi, saya dan teman sebaya biasa “lompat Belanda” -- loncat indah -- dan kecemplung ke sungai. Eh, jika sekarang dilakukan akan terhempas ke batu di dasar sungai yang sudah dangkal.
Kenangan serupa, saya ingat di Batang (sungai) Ayumi yang membelah Kota Padang Sidimpuan. Bahkan, saat libur sekolah, memancing ikan kala itu dapat beberapa ekor. Tapi kini Batang Ayumi sudah dangkal, dan kotor.
Tak terkecuali Sungai Barumun di Sibuhuan, Padang Lawas (Palas), kampung ibu saya juga sudah dangkal. Pasir putih di tengah sungai mencuat karena Barumun tak lagi sedalam dulu. Bahkan, di kampung saya, Tanjung di Kecamatan Barumun Tengah, Palas, Sungai Barumun tak lagi deras. Malah bisa dilintas dengan jalan kaki karena sungai hanya semata kaki.
Zaman sudah berubah. Tapi seyogianya sikap masyarakat terhadap sungai tak ikut berubah. Sungai bukanlah pembuangan sampah. Perambahan hutan di hulu sungai juga merajalela sehingga debit air semakin kecil. Rimbunan barisan pohon penahan air juga sudah jebol. Malah banyak yang mengeksplotasi pasir dan batu kerikil. Termasuk yang mendirikan rumah, pabrik atau kebun sawit di daerah aliran sungai.
Tak heran jika musim hujan tiba, apalagi hujan deras, maka alamat banjir pun tak terbendung. Kadang, di beberapa daerah malah kita dengar ada korban jiwa dan harta karena dilanda banjir bandang.
Sebaliknya di musim kemarau, sungai bagaikan dataran becek—sekadar berair belaka. Jangankan untuk sumber air irigasi, bahkan sekadar membasuh tubuh saja tidak memadai.
He-he, di musim penghujan inflasi air. Tapi di musim kemarau defisit air, demikian bahasa ekonominya.
Saya kira historiografi nyaris semua sungai di Indonesia, sama muramnya. Tak terkecuali di Sumatra Utara mengalami fenomena yang sama. Sungai ikut berubah, karena pengaruh kapitalisasi ekonomi.
Sungai yang dulu manis dalam kenangan, kini sudah berubah. Alam tak lagi bersahabat dengan kita, bak dilantunkan oleh Ebiet G Ade. Bahkan menjadi “musuh” kita. Ah, tak perlulah kita harus bertanya kepada rumput yang bergoyang.