Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Anggota Komisi B DPRD Sumatra Utara, Fahrizal Efendi Nasution (Hanura), mempertanyakan tindakan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV yang belum membayarkan keuntungan yang diperoleh dari kerja sama perkebunan plasma di Kecamatan Batahan, Kabupaten Mandailing Natal, kepada warga.
Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi B dengan manajemen PTPN II, PTPN III dan PTPN IV, Selasa (26/11/2019), pertanyaan tersebut dilontarkan Fahrizal. Disebutkan, sejak 2007 kerja sama plasma antara PTPN IV dengan Koperasi Unit Desa (KUD) Pasar Baru yang mewakili warga disepakati.
KUD dengan 1.600 kk anggota menyerahkan tanah 3.200 Ha miliknya kepada PTPN IV untuk diusahai. Sebelumnya tanah tersebut sempat dikelola warga setelah mendapatkan izin dari bupati ketika itu, yakni Amru Daulay. Hak kepemilikan secara adat kemudian dijelaskan warga untuk dikelola perkebunan milik negara tersebut.
Dari pengaduan Ketua KUD Pasar Baru (Malvinas) kepadanya, dikatakan PTPN IV sudah menikmati hasil panen dari plasma dalam kurun waktu 7-8 tahun terakhir. Tetapi tidak serupiah pun diberikan kepada mereka sebagaimana seharusnya.
Walau berkali-kali masyarakat meminta haknya agar dibayarkan, tetapi manajemen PTPN IV belum memenuhi. Bahkan melalui aksi demonstrasi, sampai hari ini permintaan tersebut belum juga dikabulkan.
"Sekarang tidak masanya lagi rakyat berdemonstrasi, ayo kita selesaikan. Bayarkan hak rakyat karena tanahnya sudah diserahkan diplasmakan dengan PTPN IV. Kalau tidak DPRD bisa membentuk panitia khusus biar diselesaikan," tegas Fahrizal.
Tindakan PTPN IV yang tidak membayarkan hak warga disebutkan sebagai bentuk manipulasi atau penipuan. Tidak bisa diteruskan berlangsung. Sangat berbeda dengan perlakukan perusahaan lainnya yang juga melakukan plasma atas lahan masyarakat. Mereka mendapatkan pembagian hasil setidaknya Rp 3 juta-Rp 3,5juta setiap bulannya. Contohnya, PT Sago dan PT Torganda.
"Masak plasma dengan perusahaan lain masyarakat diuntungkan, justru dengan Badan Usaha Milik Negara tidak dapat apa-apa. PTPN IV jangan menipu rakyat," pinta Fahrizal.
Malvinas yang dihubungi melalui saluran telepon membenarkan pernyataan Fahrizal. Seyogianya terdapat 3.200 Ha lahan mereka yang diserahkan ke PTPN IV untuk dijadikan plasma. Tetapi kemudian disebutkan hanya 1.600 Ha. Seluas 1.200 Ha lainnya dinyatakan sebagai milik PTPN IV. Kejanggalan tersebut sudah pernah dipertanyakan namun dijawab kewenangan menjelaskan berada di Kementerian BUMN.
Katanya, dengan asumsi setiap hektar lahan mereka yang diplasmakan menghasilkan 1 ton sawit lalu dikalikan harga jual Rp 1.000, sama artinya mereka mendapatkan hasil Rp 1juta permusim panen. Tetapi belum sekalipun warga mendapatkan dari PTPN IV.
"Kami sangat berkeinginan mendapatkan pembagian hasil panen plasma itu, PTPN IV jangan menipu warga," ungkap Malvinas.
Dua perwakilan PTPN IV, Ali Musri dan Ridho Nasution (masing-masing menjabat kepala bagian), kepada Komisi B menyatakan tidak menguasai detail permasalahan plasma yang disampaikan Fahrizal. Keduanya berdalih bahwa posisi kebun plasma yang cukup berat menyebabkan panen tidak maksimal. Selain itu, pergantian manajemen membuat terjadinya perubahan kebijakan. Termasuk soal plasma.
Akan tetapi hal tersebut dibantah Fahrizal. Karena kebun inti milik PTPN IV di lokasi yang sama tetap menghasilkan panen yang banyak.
Ali Musri dan Ridho menyatakan akan menyampaikan masalah plasma tersebut ke pihak direksi.
Ketua Komisi B, Viktor Silaen, mendesak agar permasalahan plasma antara PTPN dengan masyarakat Madina tersebut diselesaikan dengan tuntas. Tanpa melalui proses pembentukan panitia khusus oleh DPRD Sumut.