Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyarankan agar DPR menyerap aspirasi dari perguruan tinggi hingga tokoh masyarakat demi merumuskan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal tersebut bertujuan agar revisi tak membuat gaduh lagi, seperti rangkaian demonstrasi jelang tutup masa jabatan DPR periode 2014-2019 lalu.
"Pembahasannya dilempar dulu ke masyarakat, ada dengar pendapat terutama pasal-pasal yang menimbulkan reaksi di masyarakat, nah itu kembali dibawa ke masyarakat kira-kira solusinya bagaimana," kata Fickar kepada wartawan, Kamis (5/12/2019).
Diskusi dengan masyarakat, lanjut Fickar, tak cukup hanya dengan mengundang perwakilan kelompok masyarakat ke DPR. Fickar mendorong para dewan turun ke lapangan langsung untuk berdiskusi dengan masyarakat dari berbagai latar belakang.
"Dibawa itu tidak cukup hanya DPR mendengar, mengundang kelompok masyarakat ke DPR. Tetapi juga misalnya mendatangi universitas-universitas di seluruh indonesia atau per regional misalnya di wilayah timur di Makassar, dikumpulkan beberapa universitas yang memang punya kapasitas untuk memberikan sumbangan pikirannya. Jadi ketika dirumuskan itu sudah hasil dari menangkap aspirasi di bawah," jelas Fickar.
Fickar lalu mengatakan khusus di DKI Jakarta, banyak kepentingan yang juga harus diakomodir. Dia berharap anggota dewan tak segan 'jemput bola' dengan membuka diskusi publik bersama mahasiswa, tokoh masyarakat dan pakar.
"Jangan lupa juga di Jakarta ini banyak juga kepentingan dan kelompok, itu perlu juga diakomodir. Tidak cukup hanya mengundang orang ke DPR, tapi didatangi baik lewat diskusi publik atau diskusi khusus kelompok studi pidana di universitas-universitas baik di negeri maupun swasta. Penyerapan aspirasinya lebih maksimal, lebih jemput bola," tutur Fickar.
"Jangan lupa para tokoh masyarakat dan pengamat diundang juga supaya pikirannya juga terakomodasi di sana. Nanti dirumuskan bersama-sama mana yang terbaik," lanjut dia.
Fickar kemudian menyarankan dalam revisi nantinya, undang-undang yang bersifat khusus tak perlu dimasukan lagi secara utuh ke dalam KUHP baru. Hal ini dimaksud agar undang-undang tidak menjadi gemuk.
"Undang-undang yang bersifat khusus seperti Undang-undang Korupsi, Narkotika, Terorisme itu ya kalau bisa masukpun dalam KUHP itu cukup pasal pengantar saja atau bridging klausul, pasal jembatan saja. Satu pasal cukup, tapi mengantarkan ke undang-undang yang bersifat khusus," terang dia.
Selain agar pasal dalam undang-undang tak gemuk, sambung dia, hal ini dimaksud agar tak menimbulkan friksi.
"Jadi KUHP tidak menimbulkan friksi 'Ini mana yang berlaku nih? KUHP atau undang-undang khusus'. Karena yang kemarin begitu, misalnya undang-undang korupsi dimasukin semua pasalnya, sudah beda ancaman hukumannya, kemudian jadi ada dua undang-undang korupsi. Itu kan menimbulkan problem diprakteknya juga sebenarnya," papar Fickar.
Sebagaimana diketahui Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Kementerian Hukum dan HAM menyepakati sebanyak 247 RUU masuk program legislasi nasional (Prolegnas) pada Kamis (5/12). Dari 247, 50 di antaranya merupakan RUU prioritas 2020.
"Menetapkan Prolegnas RUU Prioritas tahun 2020 sebanyak 50 RUU dan dari 50 RUU Prioritas tahun 2020 tersebut terdapat empat RUU Carry Over, dengan rincian tiga RUU dari pemerintah yaitu RUU tentang Bea Materai, RUU tentang KUHP dan RUU tentang Pemasyarakatan," kata Ketua Panitia Kerja (Panja) Prolegnas, Rieke Diah Pitaloka, membacakan laporannya dalam rapat di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (5/12).
"Dan satu RUU usul DPR yaitu RUU tentang perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba," imbuhnya.
Sebelumnya Pemerintah telah menyampaikan usulan RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 dan Prolegnas prioritas 2020. RUU KUHP masuk dalam usulan tersebut.
Seperti diketahui, RUU KUHP merupakan satu dari sejumlah RUU yang ditunda pengesahannya pada periode lalu. RUU KUHP ditunda lantaran ada sejumlah pasal yang dinilai kontroversial.(dtc)