Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
“Saya amat masygul. Apakah Pemko harus menggusur pedagang kakilima (PKL), atau membiarkannya?” keluh sang wali kota. Bukan sedang diwawancarai wartawan atau di sidang parlemen daerah. Tetapi dia tampil sebagai aktor dalam drama monolog berjudul “Pledoi Wali Kota” di Gedung Kesenian di suatu kota Antah Berantah.
“Memang, di kawasan kakilima dilarang untuk berjualan. Sebab, pengguna jalan menjadi terganggu. Maklum, PKL berjualan di trotoar sampai merembes ke badan jalan, sehingga para pengendara mobil dan angkutan umum harus merayap hati-hati,” lanjut Wali Kota dengan serius.
“Jika Satpol PP menggusur PKL, mereka akan kehilangan mata pencaharian. Padahal hidup mati mereka di kakilima,” gumam Walikota.
Rumitnya, susah mencari ruang kosong untuk menampung pedagang kakilima. Jikapun ada, mereka pun khawatir akan sepi pembeli. Padahal, mana ada pedagang yang tak butuh pembeli?
“Pernah beberapa kali saya instruksikan penggusuran PKL, eh, besoknya menjadi headline di beberapa koran pagi,” ujarnya seraya menepuk jidatnya. “Wali Kota tidak manusiawi,” tuding politikus di parlemen. “Wali Kota menganak-emaskan pedagang di mal, plasa, mini, super dan hypermarket”.
“Sakit hatiku dituding sebagai agen neoliberal,” katanya. Itu karena yang berlabel “market” itu berasal dari negara asing. “Sebuah editorial koran menuduhku anti ekonomi kerakyatan,” kata Wali Kota membatin.
Wah, kok, sampai melibatkan ideologi ekonomi? Jadi, tak hanya tanggung-jawab Wali Kota, dong? “Harus dilihat secara konferehensif,” tegas Wali Kota.
“Teorinya sederhana saja. Ada gula ada semut,” kata Wali Kota. Tak heran jika orang-orang daerah kemudian berurbanisasi ke kota. Terjadilah kompetisi yang tajam antara sesama pendatang dan dengan penduduk kota. Tentu ada yang kalah dan menang. Nah, yang kalah itu lalu menjadi pedagang kakilima.
Daya serap kota setelah dibanjiri arus urbanisasi, akhirnya tiba pada batas ambang daya tampung. Jika ingin mengatasinya, perbaiki di hulu, dengan membangun daerah, jangan cuma repot di hilir. Ini tanggung jawab antardaerah, dengan koordinasi gubernur dan pemerintah pusat. “Bukan cuma tanggung-jawabku,” seru Wali Kota.
Ruang Gedung Kesenian kemudian terang. Pertunjukan telah usai. Penonton bertepuk tangan.