Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Dokter spesialis kejiwaan sekaligus Ketua Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) Dr dr Elmeida Effendy MKed KJ SpKJ mengatakan, pesatnya kemajuan teknologi telah memberikan stimulasi yang berlebihan kepada masyarakat.
Menurutnya, hal ini pun lantas berakibat pada kurangnya kesadaran emosional, yang membuat sebagian individunya rentan terhadap perilaku berulang, tidak terkontrol dan juga sulit dihentikan.
Salah satu dampaknya yang menonjol, ujar dia, adalah semakin banyaknya remaja yang kini mengalami adiksi (kecanduan) terhadap selfie. Fenomena ini pula yang juga membuat remaja dan dewasa muda jatuh ke dalam pola pengambilan puluhan foto selfie setiap hari, untuk kemudian diposting ke media sosial seperti facebook dan instagram.
"Mereka berharap bisa memperoleh like yang tinggi dan banyak mendapatkan komentar pujian," ungkapnya kepada wartawan, Senin (9/12/2019).
Elmeida menjelaskan, memang pada mulanya kebiasaan selfie ini dilakukan untuk mengkomunikasikan identitas, keadaan, emosi, dan aktivitas di media sosial. Namun perilaku ini pun menjadi adiksi, ketika dijalankan berulang, persisiten, disfungsional, bahkan sampai hilang kendali, yang oleh American Psychiatric Association (APA) menggunakan istilah selfitis untuk merujuk kepada gangguan mental yang diakibatkan peradangan ego seseorang.
"Selfitis ini adalah bentuk gangguan obsessif kompulsif untuk mengambil foto sendiri dan mempostingnya di media sosial," jelasnya.
Ia menerangkan, selfitis dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yakni borderline yaitu mengambil tiga foto sehari, tapi tidak memostingnya di media sosial, kemudian akut yaitu mengambil minimal tiga foto sehari dan memostingnya di media sosial, serta kronis berat, yakni mengambil minimal enam foto diri setiap hari dan memostingnya di media sosial. Ia menuturkan, indikator utama yang mendorong individu untuk selfie adalah keinginan dari orang tersebut untuk memberi tahu dunia, bahwa saya di sini dan saya melakukan ini.
"Patologi sindrom seperti ini adalah pencarian kepribadian yang stabil, dimana individu yang memiliki kepribadian lemah akan terus mencari konfirmasi melalui like atau komentar untuk memahami siapa mereka dan mereka yang layak," terangnya.
Dia melanjutkan, beberapa kasus juga menyatakan bahwa kompulsi untuk memosting foto mereka di media sosial akan mendapat kelegaan jika mendapat tanda like dan komentar positif untuk citra dirinya. Bahkan tidak jarang mereka akan mengedit bagian bagian tertentu menggunakan beauty camera, sehingga hasilnya tampak jauh lebih bagus dan cantik daripada kondisi sebenarnya.
"Perilaku narsisistik ini merupakan suatu afinitas untuk meyakini diri sendiri lebih hebat dari orang lain dan senantiasa membutuhkan pujian dan kekaguman dari orang lain. Tindakan narsisistik akan meningkatkan citra diri. Sehingga mereka akan menghabiskan lebih banyak waktu mengedit fotonya dan memilih foto yang secara fisik paling menarik," tuturnya.
Elmeida mengakui, pada satu sisi hal ini memang memiliki pengaruh positif. Misalnya rasa percaya diri dan harga diri, karena foto-foto tersebut mengesankan gambar ideal dan terkontrol seseorang, kemudian dari sisi pemasaran serta hiburan dan koneksi sosial.
Namun pada sisi negatifnya, sambung dia, perilaku ini dapat menyebabkan kecelakaan yang berakibat maut karena selfie dilakukan di tempat berbahaya, kemudian memicu depresi, hingga gangguan pencitraan tubuh.
"Banyak dari klien saya yang kini (mulai) mengeluhkan remajanya bahkan teman-teman seusianya yang doyan selfie untuk menunggu like. Mereka beranggapan kalau nggak di like (merasa) takut, tapi kalau di like kok malah enek," pungkasnya.