Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Ular-ular king cobra dilaporkan bikin resah warga Klaten. King cobra memang bukan hewan asing di masyarakat Indonesia, namun gawatnya, belum ada yang memproduksi serum antivenom king cobra di Republik berusia 74 tahun ini. Dukungan pemerintah pun dinanti.
"Kita belum ada antivenom king cobra. Nggak ada," kata pakar penanganan gigitan hewan berbisa (toksinolog) sekaligus penasihat temporer WHO untuk gigitan ular, dr Tri Maharani, kepada wartawan, Selasa (10/12/2019).
Maha, sapaan Maharani, menjelaskan Indonesia punya serum Bio SAVE atau SABU (Serum Anti Bisa Ular) I produksi PT Bio Farma (Persero). Antivenom ini bisa menetralisir bisa ular tanah (Agkistrodon rhodostoma), ular welang (Bungarus fasciatus), dan ular kobra jawa (Naja sputatrix). Kobra Jawa bukanlah king cobra (Ophiophagus hannah), karena memang beda spesies. Antivenom Bio SAVE itu tak bisa digunakan untuk menangkal bisa ular king cobra.
"Saya sudah bikin riset dengan teman-teman dari Thailand, memang antivenom itu tidak bisa dipakai untuk bisa king cobra," kata Maha.
Gigitan king cobra mengandung bisa neurotoksin (racun pelumpuh saraf) yang kuat. Tak hanya itu, bisa king cobra mengandung sitotoksin (merusak sel), kardiotoksin (menyerang jantung), dan hemotoksin (melumpuhkan sirkulasi darah).
"Saya pengin ketemu Pak Jokowi. Prioritas negara kita ini soal stunting, TBC, dan HIV, korban itu semua tidak langsung mengalami kematian. Tapi kalau digigit ular, korban hanya punya hitungan detik dan menit. Ini artinya harus menjadi prioritas negara. Ini 'life threatening' dan harus diperhatikan," ujarnya.
Sampai saat ini, antivenom king cobra di Indonesia didatangkan dari Thailand. Bukan berarti ilmuwan-ilmuwan toksinologi (soal gigitan hewan berbisa) dari Indonesia tidak mampu menghasilkan antivenom mujarab untuk king cobra, namun ilmuwan-ilmuwan juga perlu dukungan pemerintah.
"Perlu ada riset. Perlu dukungan Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tanpa dukungan pemerintah, toksinologi tidak akan berkembang," kata Maha.
Lantas bagaimana bila tak ada antivenom?
Dia mencatat, sudah ada 53 orang meninggal dunia akibat gigitan ular berbisa, dari Januari hingga Desember. Meski Indonesia belum punya antivenom king cobra, namun bukan berarti tak ada harapan untuk menyelamatkan nyawa korban gigitan king cobra.
"Yang paling penting adalah pertolongan pertama yang benar. Dari 53 korban gigitan ular itu, rata-rata tidak melakukan pertolongan pertama yang benar, melainkan luka gigitan diikat, dikeluarkan darahnya, disedot, diberi obat herbal," tutur Maha.
Cara pertolongan pertama yang benar terhadap korban gigitan ular adalah: lakukan imobilisasi. Jangan sampai organ tubuh yang terkena gigitan ular mengalami banyak gerakan. Banyak gerakan berarti memudahkan bisa ular menyebar. Tidak perlu diikat kuat hingga aliran darah terhenti, melainkan hanya perlu dicegah agar organ itu tidak bergerak, caranya yakni dihalangi dengan papan.
"Kedua, first aid breathing, pasang ventilator. Soalnya, gigitan king cobra yang neurotoksin kuat plus sitotoksin itu menyebabkan gagal napas," kata Maha. dtc