Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Imajinasiku macet ketika mendengar kabar bahwa Taman Budaya Sumatra Utara (TBSU) di Jalan Perintis Kemerdekaan, Medan akan “berlari” ke Pekan Raya Sumatra Utara (PRSU), di Jalan Gatot Subroto, Medan, tahun depan. Syahdan, pemindahan itu untuk tetap mengakomodir kreativitas para seniman menyusul tidak adanya titik temu antara Pemko Medan dan Pemprov Sumut soal keberlanjutan operasional TBSU.
Kabar ini berasal dari Wakil Gubernur Sumatra Utara, Musa Rajekshah alias Ijeck. Seyogianya jika Pemko Medan setuju TBSU tetap di atas lahan itu, Pemprov Sumut akan merenovasi bangunannya. Namun renovasi urung dilakukan karena Pemko Medan beralasan akan menggunakan lahan TBSU untuk keperluan lain.
"Oleh karenanya TBSU itu kita pindah ke PRSU tahun depan," ujar Ijeck menjawab medanbisnisdaily.com di rumah dinas, Jalan Tengku Daud, Medan, Jumat (13/12/2019).
Tapi bagaimana persisnya pemidahan itu belum terang benderang. Tapi saya membayangkan kantor UPT TBSU dengan 70 pegawainya akan diboyong ke area PRSU yang dulu adalah Tapian Daya, pusat kesenian Sumut yang dibangun Gubernur Marah Halim pada 1970-an.
Yang membuat imajinasiku macet adalah dananya dari mana. Apakah berasal dari dana Rp 3 miliar, eks dana renovasi TBSU yanh sudah disahkan oleh DPRD Sumut tapi kemudian dikembalikan karena keberatan Pemko Medan, belum jelas benar.
Bagaimana pula dengan dana rehabilitasi berbagai ruang pertunjukan teater, tari, pameran senirupa yang umumnya sudah rusak di eks Tapian Daya itu. Padahal APBD Sumut 2020 sudah diketok palu. Apakah masih harus menunggu Perubahan APBD Sumut 2020, saya tidak tahu.
Jika benar dipindahkan tahun depan, meskipun belum jelas kapan persisnya, misalnya pada bulan kapan, saya terbayang akan ada masa vakum. Artinya, masih butuh waktu sampai pemindahan UPT TBSU dan rehabilitasi berbagai ruang pertunjukan kesenian klar di eks Tapian Daya tersebut.
Menunggu semua proses itu selesai tampaknya TBSU tetap berada di Jalan Perintis Kemerdekaan pada 2020. Mungkin, sampai 2021. Ini jika P-APBD 2020 menyediakan dana untuk itu. Jika dananya tidak cukup waktunya bisa molor lagi.
Saya kira jika masih menanti-nanti, rencanakan atau susun saja konsep pembangunan pusat kesenian yang standar dan representatif. Baik dari sudut konstruksi maupun dari aspek artistik. Bukan asal jadi, apalagi “jadi-jadian.”
Sekali lagi imajinasiku macet. Saya bimbang apakah P-APBD Sumut 2020 atau APBD Sumut 2021 mempunyai alokasi dana yang cukup untuk rencana besar itu.
Disakral-sakralkan
Tapi imajinasiku mekar ketika menyimak cara Pemprov DKI Jakarta merevitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Saya kira bisa menjadi referensi. Luar biasa. APBD DKI merencanakan revitalisasi TIM menelan biaya Rp 1,8 triliun.
Dana sebesar itu diperoleh karena menurut Direktur Utama PT. Jakarta Propertindo (Jakpro) Dwi Wahyu Daryoto, menggunakan penyertaan modal daerah (PMD) Jakpro yang telah masuk dalam APBD DKI Jakarta. Tahap awal, untuk APBD 2019 sudah disetujui sebesar Rp 200 miliar.
Konon, akan digunakan untuk merevitalisasi bagian depan hingga tengah TIM. Antara lain, membangun fasilitas baru, seperti hotel, pusat kuliner, dan galeri seni. Juga membangun lahan terbuka untuk umum, termasuk sarana parkir.
Terlepas ada penolakan sejumlah seniman karena rencana tersebut dinilai tidak sesuai dengan citra kawasan pusat kesenian Jakarta itu. Misalnya, karena ada pembangunan hotel berbintang lima yang tampaknya merupakan konsesi bagi PT Jakpro. Para seniman khawatir pembangunan hotel tersebut akan mengubah fungsi TIM. Dari yang awalnya sebagai kawasan untuk mengekspresikan seni menjadi komersil untuk meraup keuntungan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menepis cerita hotel berbintang lima tersebut. Menurut dia, pihaknya akan membangun wisma untuk para seniman yang akan mengisi acara di TIM. Tidak perlu menyewa hotel lagi.
Tapi ajaibnya ada pula Wisma Seni Budaya. Ini dibangun untuk tahap kedua. Anehnya tetap diperuntukkan bagi para seniman. Ini boleh jadi ditafsirkan seniman sebagai “kedok” untuk hotel berbintang lima.
Lepas dari prokntra itu, saya kira betapa elok jika cerita revitalisai TIM tersebut dicoba pula oleh Pemprovsu. Tawarkan saja kepada pengusaha swasta untuk merevitalisasi Tapian Daya tapi dengan konsesi boleh mendirikan hotel berbintang lima. Apalagi arealnya sampai 6,5 hektare.
Saya kira pusat kesenian itu profan belaka. Tidak perlu disakral-sakralkan bahwa seakan-akan pusat kesenian akan “tercemar” jika berdampingan dengan hotel berbintang lima yang komersial. Seni lukis kita pun telah menembus nilai miliaran rupiah, seperti karya Raden Saleh atau S Sujoyono dan lainnya, tanpa kehilangan kesejatian artistiknya.