Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya sudah kakek-kakek. Februari bulan depan saya berusia 70 tahun. He-he, tak mungkin lagi aktif berteater, yang saya tekuni 40 tahun lebih di masa silam. Itupun hanya di kota kecil, Sibolga nan indah di tepi Teluk Tapian Nauli.
Namun sayup-sayup terkenang juga kala gairah berteater. Happy-nya tumpah ruah. Di atas panggung kita tersaruk-saruk terisak-isak membawakan lakon yang sedih. Tapi di belakang pentas, kita tertawa-tawa. Kita telah “menipu” penonton dengan tokoh karakter yang kita lakonkan. Tapi penonton merasa tak tertipu.
Menjadi pekerja teater saat itu belum bisa menjadi profesi. Dalam makna hidup dari teater. Hanya sekadar kebutuhan rohani belaka. Saya kira juga sekarang.
Tapi yang melegakan saya, biaya produksi selalu tunai. Misalnya, sewa gedung, mencetak kartu tiket, biaya properti hingga kostum dan tata artistik. Ada juga honor seusai pertunjukan meski tak seberapa.
Saya ingat ketika melakonkan “Petang di Taman” karya Iwan Simatupang dalam festival drama Sumut di Tapian Daya Medan pada 1977. Kami melobi Pemko Sibolga. Pemko berkenan menangani transportasi, peralatan pentas, hingga dana konsumsi dan uang saku. Kala itu, kami nginap di Wisma Seni Tapian Daya Medan dan meraih gelar sutradara terbaik II, aktor dan aktris terbaik II.
Tatkala ikut festival drama Sumut di Auditorium RRI Medan pada 1978, kami merayu Jiwasraya Sibolga menjadi sponsor hingga biaya nginap di hotel. Kami membawakan lakon “Kebebasan Abadi” karya CM Nas. Alhamdulillah, kami tampil sebagai juara umum.
Terakhir pada 1979, dalam festival drama yang diselenggarakan oleh KNPI Sumut, kami memainkan lakon “Suara-Suara Tengah Malam” karya saya sendiri. He-he- hanya bisa menjadi juara harapan I. Kali ini, kami disponsori oleh Asuransi Bumi Putra.
Kesadaran mencari sponsor tersebut selalu kami lakukan. Pikirannya sederhana saja. Banyak perusahaan butuh promosi, sedang kami butuh cost petunjukan.
Suatu kali kami pentas di Sibolga memainkaa naskah “Malam Jahannam” karya Motinggo Boesye. Kami menjual tiket dengan cara door to door ke instansi pemerintahan dan perusahaan. Untuk modal awal, kami juga “ngamen” baca puisi dan folk song di rumah-.para pejabat dan dermawan. Apresiasinya lumayan juga.
Ah, semua itu sudah berlalu. Yang tersisa hanya sebuah kenangan ...when I was...**