Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya tidak kaget jika akhirnya Festival Danau Toba (FDT) ditiadakan untuk tahun 2020. Maklum, FDT ini dari tahun ke tahun semakin menciut. FDT 2019 dan 2018 sepi pengunjung. Alih-alih mendatangkan banyak wisatawan asing, bahkan yang berbisnis kuliner dan suvenir pun tak keciprat rezeki.
Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi mengakui FDT kurang bermanfaat. Namun Edy sedang mencari bentuk dan metode kegiatan yang pas dan cocok untuk menggantikan FDT. Misalnya, triatlon. Ada lomba lari, renang dan sepeda.
Saya kira memang perlu evaluasi. Tapi jangan cuma coba-coba dan tanpa konsep yang matang. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara Ria Telaumbanua merencanakan FDT akan digelar bulan Juni, tepat momen libur sekolah.
Nah, karena kini sudah Januari dan Juni sudah dekat dirasakan terlalu singkat untuk mempersiapkannya. Karena itu digeser ke tahun 2021.
Bulan Juni memang musim panas – saatnya berlibur -- mulai jatuh di Eropa, Amerika hingga China dan Jepang. Jadi bukan karena lagi libur sekolah, yang seakan-akan mengandaikan FDT membidik anak sekolah datang berkunjung.
Teramat penting lagi, apa konsepnya. Saya lebih setuju jika FDT merupakan festival kebudayaan, seperti halnya Pesta Kesenian Bali yang memikat wisatawan asing. Para kurator tinggal menyeleksi kebudayaan apa saja yang akan ditampilkan.
Kesenian Turistik
Saya sudah kerap menulis perlu dipikirkan seni pertunjukan yang memukau turis asing. Tengoklah Bali yang punya barong dan kecak yang “menyihir” para pelancong sejak 1930-an.
Padahal seni pentas barong berakar dari drama tari Calonarang lazim disebut Barong and Kris Dance, dan kecak atau cak yang dipenggal dari tari sakral sanghyang, yang disebut juga Monkey Dance.
Betapa Monkey Dance amat memukau dengan jalinan suara cak cak cak yang berlapis-lapis dengan gerak-gerak alami para pemain “gamelan mulut” dan sangat mempesona.
Namun berkat dorongan Walter Spies, seorang seniman Jerman, para pelaku seni di Bali telah menggarapnya menjadi seni pertunjukan yang lepas dari unsur-unsur magisme.
Saya kira berbagai ritus Batak, seperti Mangalahat Horbo, Sipaha Sada, Sipaha Lima dan Gondang Mandudu dan lainnya, mestinya dapat mengilhami munculnya seni kemasan turistik. Namun harus dikemas secara estetik.
Adegan pembunuhan kerbau pada ritus Mangalahat Horbo haruslah dikemas pura-pura belaka, tapi tetap mendebarkan. Pertunjukannya pun tidak lagi berhari-hari, tapi dipadatkan cukup satu jam saja. Ini peluang dan tantangan baru.
Sebab jika benar-benar dibunuh, wah, ini seni pertunjukan yang sangat mahal. One show one buffalo!
Di sinilah peranan para budaywan dan seniman yang kreatif dan inovatif menafsir ulang ritus asli dalam pengucapan kesenian baru. Mendesainnya secara estetika, memanjakan indra penonton, sehingga gerak para pelaku juga berpadu dengan iringan gondang Batak, yang kadang monophoni tapi berubah mejadi heterophoni.
Saya menawarkan agar adegan “pembunuhan kerbau” itu pun sisajikan secara simbolis yang ditandai dengan sang pamanton (penombak) – olah saja menjadi puluhan penombak -- yang menghunus tombaknya ke angkasa. Lalu, terdengarlah lengkingan suara sulim (seruling Batak) yang klimaks dengan nada pilu.
Saya terkenang sulim yang ditiup oleh maestro Marsius Sitohang melengking tinggi, mendayu-dayu dengan nada sendu.
Apalagi jika dilakukan secara massif, melibatkan ratusan orang, diperkaya dengan kostum unik walau tetap beraura Batak akan fantastis dan penuh greget. Bunyi-bunyian gondang kadang menggebu-gebu tapi kadang lembut akan memperkental daya pukau. Sedap ditonton dan enak didengarkan.
Tentu saja diperlukan riset mendalam yang dilakukan pakar etnomusikologi dan para maestro kesenian Batak. Eksplorasi yang serius dengan berbagai eksperimen mudah-mudahan akan menemukan pesona kesenian turistik yang eksotik. Tanpa konsep yang matang dan teruji secara estetika, hanya akan menuai kegagalan.