Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Nasib Festival Danau Toba (FDT) di bibir jurang. Mulai 2020 ditiadakan. Pantaslah. Kita ingat FDT 2018 dan 2019 sepi-sepi saja. Tak mendatangkan wisatawan asing. Para penguasaha kuliner dan suvenir juga tak keciprat rejeki.
Untuk menyelamatkannya –karena kembali digelar pada 2021 – saya kira harus diserahkan kepada ahlinya. Para birokrat yang selama ini bercokol sebagai pelaksana sebaiknya mundur saja.
FDT dalam kaitannya dengan pariwisata adalah urusan bisnis. Jadi serahkanlah kepada para pebisnis. Biarkan mereka mengelolanya untuk mengusahakan agar turis asing datang membanjiri.
Barangkali, dengan melibatkan kalangan ASITA (Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies, sebuah Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia. Unsur PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) serta Apindo dan Kadin juga dilibatkan.
Tapi karena “komoditas” yang ”dijual” adalah kebudayaan dan kesenian, ajaklah para pakar kebudayaan dan kesenian untuk menyeleksinya agenda acara FDT. Mereka lebih tahu, mana “komoditas” kebudayaan dan kesenian yang mempunyai nilai jual.
Para pakar itu lebih tahu mana pertunjukan yang selain mengandung nilai artistik yang teruji, mereka pun lebih paham atraksi kebudayaan apa yang memikat. Pokoknya, yang berefek nilai-nilai marketing.
Saya percaya para pakar kebudayan akan memilih pelaku kebudayaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Apalagi kantong-kantong kebudayaan cukup kaya di kawasan Danau Toba.
Para pelaku itu adalah pemangku kebudayaan dan kesenian di tujuh kabupaten. Mereka sudah melakoninya turun temurun sejak zaman nenek moyang. Tanpa pamrih. Bahkan berbudaya bagi mereka adalah bagaikan melaksanakan kehidupan nitu sendiri.
Adapun urusan administrasi, pengerahan massa dan penyelenggara, serahkan saja kepada EO (event organisier) kebudayaan yang sudah terbiasa sebagai organizing commite (komite pelaksana). Para EO lebih lincah dan dinamis dibandingkan para birokrat yang cenderung kaku dan bertele-tele.
Kolaborasi kwartet pebisnis, pakar kebudayaan, EO dan pelaku budaya ini saya kira merupakan pelaksana FDT yang strategs. Tinggal bagaimana menghimpunnya dalam sebuah kepanitiaan yang harmonis.
Mungkin akan didistribusi kepada dua komite. Ada Steering Commite yang terdiri dari pakar kebudayaan. Lalu, pebisnis dan EO sebagai Organizing Commite. Kemudian, pengisi kegiatan adalah masyarakat kebudayaan di kawasan Danau Toba. Tabik!