Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Kehadiran sejumlah teknologi baru di bidang wireless broadband menggunakan satelit diperkirakan akan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan Proyek Satelit Multi Fungsi (SMF) Satelit Indonesia Raya (SATRIA) yang saat ini tengah digarap oleh Kominfo melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).
Teknologi yang dimaksud antara lain adalah High Altitude Platform System (HAPS), satelit Medium Earth Orbit (MEO), dan Low Earth Orbit Satellite (LEO). Untuk itulah, Direktur Eksekutif ICT Institute Heri Sutadi meminta Menkominfo Johnny G Plate meninjau ulang program satelit milik BAKTI.
HAPS misalnya, bisa menyediakan layanan wireless broadband mirip dengan satelit. Namun beroperasi pada ketinggian 5-20 km di lapisan stratosfer dan mampu menjangkau area seluas 1.000 km persegi.
Meski cakupannya tak sebesar satelit geostasioner (GEO) yang sudah ada sejak 1957, baik HAPS, LEO maupun MEO dapat memberikan layanan broadband layaknya satelit GEO. Karena berada di orbit rendah, harga yang ditawarkan oleh teknologi terbaru ini jauh lebih murah ketimbang satelit GEO.
Satelit SATRIA yang dicanangkan oleh BAKTI menggunakan teknologi GEO. Dengan investasi yang mencapai Rp 21,4 triliun. Dana tersebut belum termasuk pengadaan ground segment dan backhaul.
"Menurut saya dengan adanya teknologi satelit yang baru dan semakin murah, seharusnya Menkominfo yang baru dapat segera meninjau ulang proyek satelit Satria. Dengan skema pembayaran availability payment sebesar Rp 1,38 triliun per tahun selama 15 tahun sangat tidak efisien dan tidak efektif. Bahkan cenderung pemborosan keuangan negara," terang Heru dalam keterangan yang diterima detikINET.
Heru pun memperkirakan wahana ruang angkasa dengan orbit rendah ini akan segera masuk ke Indonesia. Karena beroperasi di orbit rendah, cakupan layanan yang diberikan wahana ruang angkasa orbit rendah tidak sebesar GEO.
Karena benefit yang sama dan harga yang jauh lebih murah ketimbang GEO, diperkirakan teknologi terbaru mirip satelit ini bisa dimplementasikan di Indonesia, khususnya di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) yang belum mendapatkan layanan telekomunikasi karena kendala geografis yang sulit.
Jika pengadaan satelit SATRIA ini terus dipaksakan jalan dan tidak ditinjau ulang, Heru memperkirakan nantinya proyek yang digagas oleh Menkominfo Rudiantara ini akan membebani keuangan negara di masa mendatang.
Tak dipungkiri kebutuhan telekomunikasi menggunakan satelit di Indonesia masih dibutuhkan. Namun menurut Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2006-2009 dan 2009-2011 kebutuhan tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan pembayaran dan kebutuhan masyarakat di daerah 3T.
Untuk melayani masyarakat di daerah 3T menurut Heru Pemerintah masih bisa menyewa dari operator satelit eksisting saja. Tidak perlu Pemerintah memiliki satelit dengan kapasitas besar dan harganya mahal.
Apalagi pendapatan BAKTI hanya berasal dari 1.25% pendapatan bersih operator yang besarannya tidak menentu. Jika pendapatan operator meningkat maka pendapatan BAKTI juga meningkat. Namun sebaliknya jika pendapatan operator turun, maka pendapatan BAKTI turun. Dengan kondisi pendapatan BAKTI yang berfluktuatif dan tidak menentu tersebut, evaluasi terhadap proyek satelit SATRIA mutlak dilakukan oleh Menkominfo.
Terlebih lagi dari 150 ribu titik yang dijadikan target oleh Menkominfo periode Rudiantara, tidak semuanya masuk kriteria pengguna dana USO. Jika tidak ada evaluasi menyeluruh, Heru memperkirakan akan ada pemborosan keuangan negara dan inefisiensi penggunaan dana USO. Jika kapasitas lebih namun tidak ada orang yang memakai, maka akan mubazir.
"Harusnya jika satelit tersebut dipakai oleh Pemerintah Daerah, harusnya mereka menggunakan dana dari Kemendagri. Jika untuk rumah sakit, maka harus menggunakan dana Kemenkes. Bukan semuanya dibebankan ke dana USO. Evaluasi penggunaan dana USO harus segera dilakukan oleh Menkominfo Johnny G. Plate agar inefisiensi program MPLIK (Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan) tidak terjadi lagi," pungkas Heru.(dtn)