Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Nilai dolar AS terus ditekan oleh penguatan rupiah. Mengutip Reuters dolar AS tercatat Rp 13.659. Menurut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) tercatat Rp 13.654.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsah menjelaskan penguatan rupiah yang terus berlanjut merupakan hal yang wajar. Pasalnya secara fundamental dan dalam konteks global, penguatan ini sejalan dengan pergerakan mata uang regional dan emerging market lainnya.
Namun, tak hanya dari dinamika global saja yang menjadi penopang penguatan rupiah tapi juga berbagai perbaikan di dalam negeri.
Dia menjelaskan jika mempertimbangkan arah perkembangan ke depan terkait perbaikan performa neraca pembayaran Indonesia (baik pada neraca transaksi berjalan dan neraca modal), jumlah cadangan devisa yang terus meningkat, serta inflasi yang terjaga stabil dan rendah di bawah 3%.
"Pergerakan mata uang seluruh Emerging Market yang juga seluruhnya menguat, maka sudah sewajarnya secara fundamental rupiah bisa terus menguat," kata Nanang, Selasa (14/1/2020).
Dia menyebutkan saat ini BI akan menyerahkan mekanisme penguatan rupiah pada kekuatan suplly demand pasar, sepanjang pergerakannya manageable. Dalam situasi terakhir ini, supply devisa banyak bersumber dari investor global dan eksportir.
Menurut dia meningkatnya supply devisa dari investor global di satu sisi menggambarkan aksi perburuan imbal hasil tinggi (yield hunting) di tengah masih melimpahnya likuiditas global (sebagaimana tercermin dari terus membengkaknya aset pada neraca bank sentral AS, ECB, dan BOJ) dan rendahnya imbal hasil obligasi di nagara.
Aset bank sentral AS, the Fed, terus membengkak mencapai US$ 4,2 triliun, selain karena pembelian surat berharga pada saat krisis global 2008 tapi pembelian terus berlanjut terutama dalam bentuk Treasury Bill, yang artinya the Fed terus menggelontorkan likuiditas ke pasar. Demikian pula hal yang sama dilakukan bank sentral Eropa (ECB) dan Bank of Japan.
Saat ini terdapat penempatan dana dana investor di negara maju, terutama di Eropa senilai US$ 11,3 triliun dengan imbal hasil negatif.
"Jadi wajar bila investor global akan memburu instrument negara Emerging Market dengan imbal hasil yang tinggi seperti Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun yang saat ini menawarkan imbal hasil 6,85%," jelas dia.
Dalam sepuluh hari terakhir saja menurut Nanang, investor global membukukan net beli Rp 16,7 triliun di pasar sekunder SBN.
Namun, investor global tetap akan selektif dengan memilih negara emerging market dengan pengelolaan kebijakan moneter dan fiskal yang konsisten dan prudent, serta pemerintahannya menempuh langkah konkrit untuk meningkatkan daya saing perekonomian negara tersebut, dan Indonesia saat ini tengah menjadi salah satu pilihan investor global tersebut.(dtf)