Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Popularitas media sosial (medsos) di Indonesia dalam kurun waktu satu setengah dasawarsa terakhir benar-benar menakjubkan. Hingga awal tahun 2000-an, internet masih dikultuskan sebagai barang mewah. Agar bisa berselancar di dunia maya, anak-anak muda, yang umumnya dikategorikan sebagai pengguna primer, harus pergi ke warung-warung internet dan mesti merogoh kocek berdasarkan hitungan menit bermain.
Ketika itu medsos belum ada meski cikal bakalnya sudah muncul lewat sistem papan bulletin (Bulletin Board System) sekitar tahun 1978. Dan kalau pun dulu fasilitas chatroom sudah tersedia lewat layanan MSN, Yahoo Messenger, ICQ dan mIRC, namun platform dan fitur-fiturnya jelas tidak semenarik dan sekomplet medsos-medsos yang kita kenal saat ini. Sekarang, akses internet menjadi begitu mudah dan bisa digunakan oleh siapa pun tanpa mengenal batasan usia seiring dengan kedigdayaan ponsel pintar (smartphones).
Pada medio tahun 2000-an internet di dunia mengalami perubahan yang dahsyat. Dan seiring dengan fenomena itu, medsos pun mulai menunjukkan taringnya. Tanda-tanda keperkasaan medsos diawali oleh Friendster meski tidak bertahan lama. Kemunculan Facebook dan Twitter sesudahnya pada akhirnya mengukuhkan eksistensi medsos sampai sekarang. Belakangan kejayaan kedua medsos tersohor itu malah mulai disaingi oleh kehadiran beberapa situs-situs sejenis seperti Whatsapp, Qzone, Google +, Linkedln, Instagram, untuk sekadar memberi contoh.
Sejatinya, medsos digunakan sebagai kanal digital untuk keperluan kehidupan sosial seperti menambah teman, meningkatkan interaksi, mengetahui informasi termutakhir dan berbagi foto atau video. Lama-kelamaan, perangai kita sebagai penggunanya pun berubah seiring adiksi yang semakin parah.
Medsos Sebagai Agama Baru
Josh Playlen menyebut ketika defenisi agama kita ketik di Google, respon teratas menyebut agama sebagai “a pursuit or interest followed with great devotion. Nah, sekarang ini, selain agama, medsos-lah yang memenuhi kriteria dari setiap frasa dalam defenisi tadi. Malah, tanpa bermaksud mengesampingkan peran pemuka agama, medsos kini cenderung jauh lebih dipuja dan ditaati manusia ketimbang agama yang dianut.
Sejalan dengan pemikiran Playlen itu, para pakar komunikasi dan teknologi menyebut bahwa medsos sudah mengalami tranformasi sebagai agama baru. Ini tidak berlebihan. Pada kenyataannya, banyak manusia yang memang lebih menunjukkan sisi religiositasnya di sana ketimbang di dunia nyata. Lihatlah, begitu sering orang memanjatkan doa di dinding-dinding lini masa medsos ketimbang melakukannya secara khusyuk di dalam rumah-rumah Tuhan.
Rapalan doa dan ucapan selamat ulang tahun kepada, katakanlah, orang tua, demi alasan kekinian, dikukuhkan di status medsos berbentuk caption dengan foto orang tua yang sengaja diunggah. Banjiran ucapan selamat pun berdatangan dari rekan-rekan se-medsos. Lucunya, orang tuanya yang sedang berulang tahun tidak tahu-menahu soal itu karena tidak memiliki akun medsos atau buta sama sekali dengan yang namanya internet. Dan boleh jadi, di kehidupan nyata orang tua yang malang seperti itu malah tidak mendapatkan ucapan selamat secara langsung dari anak-anaknya. Ironis bukan?
Ritual keagamaan yang sedang dijalankan juga tak luput dari sasaran. Demi menunjukkan pribadi yang sangat ber-Tuhan, sisi-sisi sakral seremonial religi pun diumbar (show-off). Banyak orang yang tidak lagi benar-benar beribadah ketika masuk rumah ibadah. Tujuan utamanya hanya demi mendapat pengakuan orang lain lewat tombol like dan kolom komentar. Caranya pun sangat gampang. Cukup dengan swafoto seolah-olah sedang berkontemplasi mendekatkan diri kepada Tuhan untuk kemudian diunggah ke medsos.
Ucapan syukur atas sebuah keberhasilan sering kali dirayakan dengan cara, misalnya, berbagi ke fakir miskin atau anak-anak panti asuhan. Sayangnya, perilaku yang seharusnya terpuji itu sering dijadikan sebagai alat pencitraan. Artinya rasa syukur tadi sebenarnya hanya kamuflase untuk memamerkan apa-apa yang sudah berhasil dicapa ai seperti banyaknya harta dan tingginya jabatan dalam karir. Dalam ajaran agama, perilaku seperti itu disebut syirik.
Jika hendak diurai, masih banyak lagi contoh lain yang bisa kita saksikan dalam hidup sehari-hari. Bukan bermaksud untuk berprasangka buruk tapi memang demikian adanya. Medsos kini mulai tumbuh pesat sebagai substitusi agama-agama konservatif. Pemeluknya menuhankan kecanduan akut.
Nomophobia
Tingginya tingkat penggunaan medsos sangat dipengaruhi oleh perangkat ponsel pintar yang portable dan user friendly. Tak perlu lagi repot-repot mengunjungi warnet untuk berselancar di dunia maya seperti dulu. Dengan modal lima puluh atau seratus ribu rupiah, paket internet sudah bisa didapat.
Maka jangan heran apabila manusia sekarang sangat menyayangi ponsel pintarnya melebihi apa pun juga. Orang bisa panik sejadi-jadinya jika ponsel pintarnya tidak berada dalam genggaman entah karena tertinggal di rumah, terjatuh atau raib. Jika anda pernah mengalaminya, berarti anda sudah masuk kategori penderita sindrom Nomophobia (no-mobile-phone phobia). Istilah ini muncul dalam sebuah penelitian oleh YouGov yang mengungkap perasaan tidak nyaman yang dialami orang-orang ketika ponselnya hilang, mati, kehabisan baterai atau pulsa, atau tidak berada di dalam jaringan. Tidak bisa dimungkiri lagi sindrom ini sudah mewabah dan menjangkiti para pengguna medsos.
Kita benar-benar sudah terjajah. Mulai dari bangun pagi hingga kembali tidur di malam hari, hidup seakan tidak bisa lepas dari ponsel pintar. Setiap saat kita memeriksa notifikasi melihat apakah ada pesan-pesan yang masuk, memantau status update pengguna medsos lain, membaca isi pembicaraan di dalam grup Whatsapp, dan masih banyak lagi.
Dan pada saat yang bersamaan, kita juga menjadi teralineasi dari interaksi sosial di dunia nyata. Komunikasi manusia lebih intens di dunia maya. Kita berbicara melalui jari-jari tangan bukan lagi lewat mulut. Rasa bahagia dan sedih tidak lagi diekspresikan lewat raut wajah. Cukup dengan menyisipkan emoticon dalam setiap pesan yang dikirim. Anehnya, ketika kita berjumpa langsung dalam percakapan di dunia nyata, lidah kita seperti kelu. Interaksi terasam hambar dan kaku.
Tak terbayangkan bagaimana kehidupan sosial kita kelak jika fenomena-fenomena seperti ini terus terjadi. Satu yang pasti kecanggihan teknologi akan terus mengalami peningkatan. Hari ini kita punya ponsel pintar, mungkin di masa mendatang akan ada ponsel jenius atau ponsel super jenius dengan segala kehebatannya yang mungkin sekarang belum terbayangkan di pikiran kita. Manusia mungkin akan semakin dijajah oleh produk hasil kepintarannya sendiri. Melihat gejala-gejala yang masif terjadi dalam hal penggunaan perangkat gawai dewasa ini, boleh jadi ponsel-ponsel pintar akan semakin pintar. Saya khawatir manusia sebagai pencipta dan penggunanya hanya akan terlihat jauh lebih bodoh. Mudah-mudahan saya salah.
==
*Kolumnis lepas, guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan dosen PTS.
==
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]