Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pengusaha bawang putih yang tergabung dalam Perkumpulan Pengusaha Bawang Putih dan Aneka Umbi Indonesia (Pusbarindo) mengungkapkan bahwa eksportir bawang putih dari Cina seringkali menaikkan harga ketika permintaan impor dari Indonesia tinggi.
Lantas, apa yang akan dilakukan pemerintah untuk mencegah permainan harga tersebut?
Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Prihasto Setyanto mengatakan, pemerintah terus berupaya mewujudkan swasembada bawang putih sehingga tak lagi bergantung pada impor. Untuk mewujudkan itu, diperlukan sekitar 70.000 hektare (Ha) lahan untuk menanam bawang putih.
"Kalau bawang putih untuk swasembada, untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri itu minimal 70.000 Ha," kata Prihasto, Selasa (21/1/2020).
Ia membeberkan, per Desember 2019, sudah terealisasi 12.000 Ha lahan bawang putih yang tersebar di beberapa wilayah. Persebarannya ini ada di Lombok Timur, Temanggung, Magelang, Brebes, Tegal, Wonosobo, Malang, Banyuwangi, Cianjul, Solok, Bantaeng, Minahasa Selatan, dan sebagainya.
Prihasto menjelaskan, saat ini pemerintah fokus dalam produksi benih bawang putih sebagai tahap awal.
"Produksi kita sekarang itu difokuskan jadi benih. Karena kita masih kekurangan benih. (Karena ntuk swasembada) ya kita perluas pertanaman. Tapi untuk memperluas pertanaman kan benihnya harus tersedia dulu," papar dia.
Selain itu, mengenai volume impor bawang putih yang diterbitkan pihaknya dalam Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH), menurutnya angka itu muncul dari permintaan para importir sendiri.
Dalam hal ini, ia menanggapi keluhan Pusbarindo yang menilai volume impor dari RIPH Kementan melebihi kebutuhan nasional.
"Kita itu kan hanya memberikan rekomtek. Rekomendasi teknis dari aspek mutu dan kualitas barang yang akan masuk. Itu kan permintaan dari importirnya bukan kami itu, permintaan importirnya. (Volume impor) itu importirnya yang mengajukan. Bukan Kementan," tegas Prihasto.
Sebelumnya, Ketua II Pusbarindo Valentino, mengatakan volume impor bawang putih yang terbit dari RIPH melebihi kebutuhan nasional. Ia menilai kebijakan ini akan menimbulkan persaingan tidak sehat di tingkat pedagang.
"Kita ketahui bahwa penerbitan RIPH 2017-2019 melebihi konsumsi nasional bawang putih. RIPH tahun 2017 980.000 ton, tahun 2018 1 juta ton, dan 2019 mencapai 1,1 juta ton. Ini memang jauh melampaui kebutuhan bawang putih nasional yang hanya 500.000 ton," kata Valentino di hadapan Komisi IV DPR RI dalam rapat dengar pendapat (RDP), di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (20/1/2020).
Menurut Valentino, besaran penerbitan RIPH ini perlu dievaluasi. Pasalnya, dengan menerbitkan rekomendasi yang besar, akan memberikan kesempatan bagi negara utama importir bawang putih, yakni China untuk memainkan harga.
"Setiap awal tahun Cina tahu demand bawang putih akan tinggi. Maka mereka menaikkan harga. Itulah yang menyebabkan gejolak harga di sini, karena harga beli sudah tinggi, jadi bisa membuat inflasi di dalam negeri," jelas dia.(dtf)