Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sehari menjelang Imlek, ada tradisi masyarakat Tionghoa membersihkan rumah. Syahdan, maksudnya untuk membuang segala keburukan yang menghalangi datangnya keberuntungan. Tapi pada saat Imlek tabu melakukan “bersih-bersih” rumah karena dipercayai akan membuang keberuntungan di tahun tersebut.
Ada pula tradisi mengecat ulang pintu dan jendela, lalu ditempeli kertas yang bertuliskan kalimat pengharapan. Cat yang dipakai selalu berwarna merah, yang dianggap simbol kesejahteraan, kuat dan membawa keberuntungan.
Wah, dua tradisi itu sangat melambangkan ekonomi. Keberuntungan, dan bukan keberuntungan sebagai antitesa.
Sebagai outsider, saya menafsirkan bahwa tradisi itu menunjukkan masyarakat Tionghoa adalah makhluk yang berorientasi ekonomi secara kultural.
Hipotesa itu semakin kuat ketika ada juga makanan pantangan khas saat Imlek. Misalnya, pantang makan bubur. Konon, bubur dianggap sebagai simbol kemiskinan.
Aroma keekonomian semakin kental tatkala ada larangan membalik ikan pada saat menyantapnya. Percaya atau tidak, dalam tradisi Imlek Anda dilarang mengambil daging ikan pada bagian bawah. Jadi hanya bagian atas saja.
Nah, kemudian menyisakan ikan di bagian bawah tulang, untuk dinikmati keesokan harinya. Masyarakat Tionghoa percaya kalau kebiasaan ini merupakan lambang dari nilai surplus untuk tahun yang akan datang.
Jika ditafsirkan tidak secara verbal, terkandung makna saving alias menabung dalam filosofi makan ikan tersebut. Tidak dihabiskan tuntas pada hari ini.
Tradisi membagi-bagi angpao (uang) dalam setiap perayaan Imlek semakin menancapkan nilai-nilai ekonomi tersebut. Inilah, tradisi di mana masyarakat Tionghoa yang sudah berkeluarga memberikan rezeki kepada anak-anak dan orang tuanya.
Bagi-bagi angpao juga dipercaya makin memperlancar rejeki. Katakanlah, semacam transfer energi dan kesejahteraan bagi generasi penerus di kemudian hari.
Imlek terasa kurang lengkap jika tidak disajikan makanan wajib, seperti kue keranjang, dan jeruk. Bahkan, makanan yang disajikan minimal terdiri dari 12 jenis makanan yang melambangkan 12 macam shio dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa.
Masing-masing makanan tersebut juga memiliki makna tersendiri. Misalnya, ayam utuh yang melambangkan kemakmuran keluarga. Mie panjang melambangkan panjang umur. Atau kue lapis legit yang mengartikan rezeki yang berlapis-lapis.
Tradisi Yu Sheng
Petasan dan kembang api selain memeriahkan perayaan, menurut kepercayaan Tionghoa, wajib dilakukan untuk mengusir nasib-nasib buruk dan mengharapkan tahun baru yang lebih bahagia.
Malah ada pagelaran liong dan barongsai yang merupakan lambang kebahagiaan dan kesenangan. Tidak mengherankan pertunjukkan ini selalu ada dalam setiap perayaan Imlek.
Imlek tak hanya bernuasa ekonomi. Tetapi juga kekeluargaan. Imlek menjadi waktu yang tepat untuk mengunjungi saudara mempererat tali persaudaraan. Tidak mengherankan banyak warga Tionghoa yang pulang ke kampung halamannya untuk merayakan bersama keluarga mereka.
Ada pula tradisi yu sheng, yakni makan bersama sekeluarga. Sesuai adat, menu ini wajib dihadirkan dan disantap dengan iringan doa syukur atas rezeki yang telah diberikan. Doa pengiring yu sheng bertujuan agar keluarga yang menyantap yu sheng mendapat rezeki yang lebih baik di tahun yang baru.
Dalam tradisi ini makanan disajikan dalam satu piring yu sheng. Di piring tersebut ada beberapa makanan dingin, seperti irisan ikan salmon, wortel, dan salad. Lalu diberikan saus wijen, buah plum, dan sebagainya.
Para anggota yang duduk di meja akan mengaduk makanan tersebut bersama dan mengangkatnya dengan sumpit setinggi-tingginya sambil mengucapkan "Lao Qi" atau "Lao Hei."
Mudah-mudahan hari raya Imlek membawa kesejahteraan. Tidak hanya bagi masyarakat Tionghoa, tetapi juga masyarakat Indonesia. Gong Xi Fa Cai!