Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya masih remaja pada 1966, awal bangkitnya orde baru. Para senior saya belakangan menjelaskan, kala itu telah menyembul sang surya baru karena era ideologi dan politik-politikan sebagai panglima sudah “tenggelam.” Muncullah, zaman pembangunan yang dipelopori oleh Golkkar.
Saya diberitahu bahwa orde lama penuh jor-joran ideologi. PKI demam dengan Marxisme-Leninisme. Negara Islam hendak didirikan Masyumi. PNI dan partai berasas Kristen tentu menolak. Kabinet pun jatuh bangun. Tak ada yang mengurus irigasi, koperasi, dan sejenisnya.
Sejak orde baru, Golkar berkuasa. Politik No, Pembangunan Yes! Semua partai kemudian berasas tunggal Pancasila. Tak ada bedanya antara Golkar, PDI dan PPP, karena PDI dan PPP sudah “dikebiri.” Jika coba “macam-macam”, partai itu akan diintervensi, dibikin bergolak, lalu ketuanya dicopot.
Kini, 2020, walaupun system multipartai memungkinkan beda ideologi, nyaris tak ada debat ideologi yang mencerahkan. Bahkan, nyaris tak ada “tanding” program ekonomi. Semua partai politik terkesan memperjuangkan “kehidupan rakyat” tanpa masuk ke substansi, misalnya, apa ideologi ekonomi, taktik-strategi dan bagaimana gambaran kehidupan perekonomian yang dicita-citakan.
Saya terbayang, jika partai nasionalis lebih mengutamakan perekonomian domestik (rada proteksionis dan menyubsidi rakyat miskin), anti utang, antiprivatisasi BUMN. Yang rada “liberal” sebaliknya pula. Konsep ekonomi partai keagamaan pun tak mengental, padahal mestinya tak cuma mengharamkan korupsi dan narkoba.
Golkar yang dulu, katanya, teknokratis (kini sudah redup) toh sama saja dengan Partai Demokrat, PAN, Gerindra, PPP, PKS PKB dan PDIP.
Jangan-jangan tujuan semua partai politik sekedar merebut kekuasaan belaka? Hal-hal besar, seperti cita-cita dan corak perekonomian di masa depan sudah kurang menarik.
Mungkin, karena kita merdeka baru 75 tahun. Kita masih mencari-cari bentuk. Bersabarlah melewati proses panjang, karena jika revolusi meletus pun hanya menciptakan penderitaan. Tapi bak kata anak muda, “ah, cape deh!"