Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Suara orang banyak selalu benar? Entahlah. Hanya nenek saya pernah berkata bahwa kebenaran itu adanya di langit, lalu mengejawantah, atau di-hand-down-kan ke bumi. Siapa yang membawanya? Ya, para Rasul Tuhan!
Tetapi siapa gerangan “orang banyak” itu? Lebih dari tiga? Belasan, ribuan atau jutaan orang? Lebih kurang begitulah, walaupun belum tentu mewakili semua penduduk di sebuah negara.
Mungkin bisa didekati dengan cara referendum, suatu khas demokrasi awal di kota ala Yunani masa lampau tentang suatu hal yang menghendaki suara dan sikap publik. Jumlah penduduk tidak banyak, relatif tidak plural dan rentang kendali yang tak terlalu luas, hatta hasilnya mendekati obyektif.
Tapi bagi Indonesia dengan 260 juta jiwa, referendum tentang suatu hal besar, alangkah rumit. Bisa bias. Pendapat seseorang dan publik di negeri yang sangat majemuk dengan rata-rata income per capita yang jauh di bawah dan belum mencapai US$ 5.000 ini bisa dipengaruhi oleh godaan mesin politik para elit. Apalagi kultur kita masih paternal.
Seorang teman yang gemar mempelajari hukum tatanegara mengusulkan mengapa “orang banyak” itu tak diwakili DPR atau MPR? Saya bukan ahli tatanegara. Tapi jika hasil referendum saja, one man on vote, bisa bias, apakah putusan MPR – meski kontitusional -- bisa steril dari bias, supaya tidak mereduksi suara “orang banyak”?
“Orang banyak” memang multitafsir. Ada yang ucapannya kerap dikutip koran, karena ia tokoh partai politik, ormas atau NGO dengan sejumlah massa. Mungkin ketua asosiasi atau ketua komunitas didukung konstituennya.
Tapi banyak “orang banyak” yang sunyi, tidak terekam media massa atau aspirasinya tak menembus dinding DPR dan DPRD. Banyak “orang banyak” yang tak punya akses, atau dibisukan oleh system komunikasi dan sosial-politik yang masih bias perkotaan.
Siapakah yang berhak mengatasnamakan “orang banyak”? Orang banyak itu sendiri, dong. “Orang banyak” yang mana?
Pengatasnamaan “orang banyak” kini mulai kerap berteriak di mimbar-mimbar publik seperti televisi, radio, media cetak dan online. Bahkan, melalui unjuk rasa dan seminar.
Saya gamang jika klaim atas nama “orang banyak” justru melibas musuh-musuhnya, demi agenda tertentu yang tak disepakati dengan orang banyak. Jangan-jangan tirani dapat dilakukan atas nama “orang banyak.” Oh, bulu kudukku merinding!