Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
“Guru yang malas belajar sebaiknya berhenti mengajar”. Kalimat itu saya temukan tempo hari ketika membaca sebuah artikel di laman infokemendikbud.com. Pada hakekatnya, belajar tidak pernah mengenal batasan usia. Dan belajar sepanjang hayat memang sudah menjadi paradigma universal. Dengan demikian, konsep belajar tanpa henti pun sebetulnya juga harus berlaku untuk guru.
Sayangnya, tidak sedikit guru-guru di negeri ini yang 'mengidap' penyakit malas belajar. Alasannya bisa bermacam-macam. Ada guru yang terlalu merasa jumawa hingga menganggap ilmunya sudah cukup untuk keperluan mengajar. Ada pula yang menganggap belajar merupakan kewajiban para murid semata. Ada juga yang merasa sudah tua, sehingga tidak perlu lagi belajar, dan lain-lain. Pada titik ini, ego guru diakui sangat besar.
Lalu, banyak juga guru yang berasumsi bahwa jika guru belajar itu sama dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kalau sudah begitu maka ada kalkulasi lain yang tidak bisa dihindari antara uang, waktu, tenaga dan pikiran. Persepsi sempit seperti itu akan menyebabkan kesalahan pola pikir. Belajar akan dianggap mendatangkan beban baru. Padahal, kenyataannya tidak selalu demikian, meski prinsip melanjutkan pendidikan pun sesungguhnya sangat baik bagi peningkatan mutu guru, karena muaranya adalah demi meningkatnya kualitas proses belajar dan mengajar.
Memang, pemerintah selalu mendorong para guru yang masih berlatar belakang pendidikan sarjana untuk melanjutkan ke program magister. Akan tetapi, jika kita kembali ke persoalan kalkulasi yang tidak bisa dihindari tadi, seperti yang kita ketahui, kesejahteraan guru belum baik. Masih banyak guru yang mesti susah payah memutar otak untuk mencari tambahan penghasilan di samping mengajar. Fenomena seperti ini cukup banyak ditemukan di kalangan guru-guru swasta atau honorer.
Hanya, dengan adanya program sertifikasi guru, taraf hidup guru relatif semakin mengalami perbaikan. Setidak-tidaknya dana yang masuk secara berkala ke rekening para guru berlabel profesional setelah lulus sertifikasi bisa dialokasikan untuk kebutuhan belajar semisal mengikuti pelatihan, seminar atau lokakarya.
Selain itu, sebagian besar guru-guru di Indonesia juga sudah memiliki ponsel pintar. Belajar dengan memanfaatkan gawai sudah menjadi tren di masa kini. Lewat internet ada begitu banyak hal yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan referensi, alat peraga ajar atau video pembelajaran. Semuanya berpulang kepada guru-guru sendiri, apakah mereka mau memanfaatkan kesempatan itu atau tidak.
Apalagi tantangan guru sekarang semakin berat. Dulu, guru boleh berbangga hati karena didaulat sebagai satu-satunya sumber untuk mencari ilmu pengetahuan. Maka tak heran jika keberadaan guru menerangkan di depan kelas menjadi begitu bernilainya bagi murid dan orang tua. Sekali saja murid absen, dia dan orang tuanya akan merasa begitu rugi seperti telah kehilangan barang yang sangat mahal nilainya.
Pendeknya, guru di masa lalu ibarat bintang film yang penampilannya selalu dinanti-nantikan. Guru punya power dan dominasi. Murid-murid yang tidak disiplin, nakal, dan malas belajar sah-sah saja untuk dijewer telinganya, dipukul betisnya atau disuruh berdiri angkat kaki sebelah di depan kelas. Dan menariknya, murid-murid tidak protes atau berusaha mengadu ke orang tua. Sebab mengadu berarti mendapat dua kali hukuman. Orang tua juga demikian. Hukuman yang diberikan terhadap anak-anak mereka dianggap sebagai pelecut semangat untuk belajar lebih giat dan lebih disiplin.
Berbeda dengan di masa sekarang. Guru harus berpacu. Berpacu dengan murid, berpacu dengan orang tua, berpacu dengan teknologi dan berpacu dengan tekanan. Guru tidak bisa lagi menganggap dirinya sebagai seseorang yang maha tahu (knowing everything). Sewaktu-waktu murid bisa melakukan cek dan ricek lewat gawai ponsel pintarnya. Sedikit kesalahan yang dilakukan oleh guru dalam materi ajarnya bisa mendapat sorotan tajam dari orang tua. Pada titik itu, kredibilitas dan kemampuan guru dalam mengajar akan mulai diragukan dan bisa jadi malah tidak dipercayai lagi.
Guru Menulis
Maka dari itu guru mutlak harus membuka diri untuk senantiasa belajar. Kegiatan pembelajaran merupakan hal yang dinamis dan kompleks. Ini sama dengan prinsip ilmu pengetahuan yang terus mengalami perubahan. Demikian halnya dengan karakter peserta didik yang selalu berbeda dari satu generasi ke generasi. Guru, apalagi yang sudah menggeluti profesi mengajar selama puluhan tahun, tidak boleh memandang murid di era kekinian dengan murid sepuluh atau dua puluh tahun lalu lewat kacamata yang sama.
Salah satu cara agar guru tetap membudayakan konsistensi belajar adalah melalui menulis. Ada banyak surat kabar dan media dalam jaringan yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi guru untuk menulis. Lalu kenapa harus menulis? Dan mengapa pula harus di media massa?
Memang menulis bisa dilakukan di mana saja, tidak mesti harus di media massa. Tapi, percayalah, ketika guru menulis di media massa, dia akan memperbaiki taraf intelektualitasnya. Ketika menulis di media massa, seseorang harus menggali informasi relevan sebagai referensi untuk memperkaya isi tulisannya. Untuk memenuhi tujuan itu, ia tidak akan bisa melepaskan diri dari kebiasaan membaca—apakah membaca buku, majalah, artikel terkait, dan sebagainya. Apalagi, tulisan di media harus terlebih dahulu mendapatkan moderasi dari para redaktur, sehingga sedikit banyak akan membantu untuk memahami bagaimana standar penulisan di ranah publik yang baik.
Jika setiap guru punya motivasi untuk itu, niscaya kualitas keilmuannya akan mengalami peningkatan. Lebih dari itu, jika guru mau menulis, maka dia tidak cuma mengajari murid-muridnya di sekolah. Dia akan mengedukasi masyarakat secara luas.
Pada titik yang lebih tinggi nantinya, rutinitas menulis di media akan berdampak pada semakin terasahnya kemampuan guru untuk menulis buku-buku, terutama bahan ajar secara profesional. Bagaimana pun juga guru berada di garda terdepan yang paling paham soal kesulitan peserta didik dalam memahami materi pelajaran.
Logikanya, guru-gurulah yang seharusnya menyusun materi ajar dalam buku-buku teks yang dipakai di sekolah dengan berpedoman pada pengalaman yang mereka dapatkan saat mengajar. Tapi, apa daya, jauh panggang dari api. Kebanyakan buku-buku pelajaran dituliskan oleh praktisi yang mungkin mumpuni secara keilmuan tapi tidak pernah atau sangat jarang terlibat langsung menghadapi anak-anak di dalam kelas.
Sebagai penutup, saya selaku seorang pendidik ingin menyerukan kepada guru-guru agar terus belajar dan mulai membumikan kebiasaan menulis. Masa depan bangsa ini terletak pada kontinuitas mutu pendidikannya. Saya optimis bahwa guru-guru yang punya komitmen untuk menjadi pendidik yang berkualitas niscaya akan mendengarkan seruan ini. Semoga!
===
Penulis adalah kolumnis lepas, dosen STIE Eka Prasetya dan guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]