Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Seorang teman yang tinggal di Binjai, 20 km dari Medan tersenyum. Sudah beberapa waktu dia tidak lagi stress menempuh jalan Binjai-Medan. Maklum jalan tol Binjai-Medan, juga Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi sudah beroperasi.
Tak ayal lagi, istilah mantan Wapres M Jusuf “JK” Kalla, bahwa “lebih cepat lebih baik” mendapatkan contohnya yang pas. Soalnya, selama ini jalan Medan-Binjai yang hanya sekitar 20 km harus ditempuh 1 jam atau bahkan 2 jam, manakala terjadi kemacetan. Memang kemacetan sering terjadi pada jam sibuk – berangkat dan pulang kerja – di KM 10 hingga KM 19 arah ke Binjai.
Hal yang sama juga dinikmati mereka yang menempuh jalan tol Medan-Tebing Tinggi. Mulus dan tanpa macet. Terhindari dari kemacetan yang selalu terjadi di Sei Rampah di jalur jalan lama.
Pemilik kenderaan pun menjadi lebih irit BBM. Maklum, kalau kerap macet, jalannya kenderaan merangkak, yang boros BBM.
Nah, sekarang para pejabat atau pengusaha di kota Binjai, Tebing Tinggi, Perbaungan dan Lubukpakam yang hendak mengikuti seminar di Medan sudah nyaman karena bisa meluncur dengan cepat.
Tapi, eh, tiba di tempat seminar di Medan, ternyata acara belum dimulai. Bahkan, ditunda hingga 1 jam, atau bahkan 2 jam. Maklumlah jam karet. He-he, percuma jalan tol ada, toh acaranya terlambat.
Tak pelak, “olok-olok” tentang Sumut pun bertambah. Selain, “semua urusan memakai uang tunai,” juga “semua urusan memakai upacara terlambat".
Biasanya, acara ditunda karena sang pejabat penting belum tiba. Dia masih melayani tamu-tamunya, padahal mestinya orang-orang yang berurusan itu bisa didistribusikan kepada para stafnya, alias ada pendelegasian wewenang. He-he, artinya, belum ada “jalan tol” dalam urusan birokrasi, tapi tetap sentralistis pada pejabat puncak.
Akhrulkalam, revolusi jalan tol menjadi percuma jika tak dibarengi dengan revolusi mental. Cocok kamu rasa?