Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Hidup dimulai pada usia 40 tahun, kata sebuah pepatah. Artinya, masih punya semangat berkreatif dan produktif hingga usia 60 tahun. Misalkan Anda berusia di antara 40—60 tahun, saya kira Anda cocok menjadi seorang calon kepala daerah (KDh), wali kota dan bupati pada Pilkada serentak, Septemer 2020.
Adapun kriteria kedua, si calon tidak mempunyai utang budi kepada parpol pendukung. Tidak ada komitmen akan memberi konsesi ini dan itu jika kelak terpilih.Utang budi pada galibnya akan ditunaikan dengan cara “dagang sapi” yang pragmatis. Kolusi dan nepotisme pun bekecambah.
Kriteria ketiga, sang calon tidak bertipe birokrat yang kaku, alot dan bertele-tele. Mestilah bersikap melayani daripada dilayani. Lebih inovatif, efisien dan elastis. Jikapun Anda seorang yang berlatar birokrat, tetapi tetap fleksibel dan dinamis.
Etos dan etika entrepreneur harus digenggam, inilah kriteria keempat. Tapi bukan economics animal yang Machiavellis. Yang menghalalkan segala cara. Misalkan, APBD minim dibanding kebutuhan akan mendorong Anda mencari sumber dana alternatif. Misalnya mengerahkan dana dan partisipasi rakyat untuk bergotong royong, ataupun mendorong berbagai perusahaan untuk berlomba-lomba membuat program CSR (Contribution and Social Responsibility).
Kriteria kelima, sang calon berparadigma hidup hemat, sederhana alias efisien. Mobil dinas bukan mobil mewah. Tidak asyik rapat di hotel mewah, dan gemar study banding ke luar daerah, yang tidak relevan.
Berani memilih rumah dinas di tengah pemukiman rakyat jelata. He-he, adakah yang berani? Hemat tentu saja tidak sama dengan pelit. Hemat itu logis, tapi pelit itu bodoh.
Kriteria keenam, sang calon tak usah muluk-muluk dengan program yang bagaikan memberikan ikan, dan bukan alat pancing. Sangat memanjakan penduduk dan tak mendidik. Kecuali, dalam keadaan darurat misalnya terjadi bencana. Atau fakir miskin dan anak telantar, yang memang wajib dipelihara oleh negara.
Sang calon harus mempunyai program kerja yang mendongkrak pendapatan rakyat sehingga mereka berdaulat secara sosial dan ekonomi. Bukan cuma asyik dikutipi pajak dan retribusi. Bukan membiarkan atau memelihara kemiskinan sehingga tetap miskin.
Adapun kriteria ketujuh, hendaklah Anda mengenali warga daerah ini. Masyarakat seperti apakah mereka sesungguhnya? Misalnya, mengapa mereka tak lagi gemar bergotong-royong untuk sekedar membersihkan dan menggali selokan di depan dan di belakang rumah masing-masing agar air mengalir dengan baik di musim hujan?
Apa yang membuat warga mengatakan bahwa semua itu adalah tugas Pememerintah. Bukankah sudah ada Dinas Kebersihan dan Dinas yang mengurusi infrastruktur? Bahkan, mereka sudah digaji dengan duit rakyat, yang berasal dari pajak dan retribusi, dan mengalir ke APBD, dan antara lain juga dialokasikan untuk pembangunan daerah. Jadi untuk apa bergotong-royong?
Rakyat sesungguhnya baik-baik saja. Mereka akan memelihara taman kota, tak membuang sampah sembarangan, mau ikut siskamling jaga malam, jika dana publik sampai kepada sasaran, dan tidak dikorupsikan.
Kisah kelam seperti itu yang membuat partisipasi rakyat melemah. Mereka berpikir, buat apa berpartisipasi jika kemudian duit mereka dikorupsikan. Kadang dengan cara mark up, kadang dengan cara mark down.
Saya kira inilah kriteria yang kedelapan, yakni calon yang bersih dari korupsi. Sebab, jika “maling menjadi pemimpin”, alangkah repot mengawasinya. Sama saja jika seorang maling berada di sebuah rumah keluarga atau di sebuah kantor. Solusinya: ya, get out!
Masih ada kriteria kesepuluh. Yakni, pemimpin untuk semua rakyat. Bukan cuma untuk warga parpol pendukungnya belaka. Haruslah disadari bahwa Pilkada hanya satu hari, bahkan hanya beberapa menit di bilik suara. Usai Pilkada usai pula kompetisi. Kawan harus tetap menjadi kawan, bahkan lawan pun dirangkul menjadi kawan.