Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Hanya dalam hitungan bulan ke depan, akan diselenggarakan Pilkada Serentak di 270 daerah, yakni 9 provinsi, 224 kota dan 37 kabupaten. Pilkada Serentak 2020 menjadi lebih istimewa karena kontestasi ini dimaknai oleh banyak pihak sebagai gambaran awal sekaligus modal penting dalam menghadapi pertarungan yang lebih besar, yakni Pemilu Serentak 2024.
Apalagi, sesuai dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945, Jokowi dipastikan tidak bisa lagi menjadi calon presiden. Hal ini membuka peluang bagi setiap partai politik untuk memoles jagoannya sekaligus meraih suara terbanyak demi mendapatkan tiket pencalonan presiden/wakil presiden. Untuk itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menempatkan kader-kader terbaik untuk memenangkan kontestasi pilkada.
Menyadari hal tersebut, partai politik pengusung dan calon keplaa/wakil kepala daerah berjuang mati-matian demi menjadi pemenang. Berbagai program ditawarkan, rentetan janji disebar. Ajang kampanye negatif hingga kampanye hitam mungkin saja marak terjadi. Bahkan tidak jarang kampanye tersebut menonjolkan hal-hal yang sangat primordial, seperti masalah dinasti, kesukuan, kedaerahan dan agama. Sehingga tidak perlu heran kalau banyak orang tiba-tiba menjadi sangat baik dan sangat perhatian atau justru sebaliknya. Perdebatan antar tim sukses dan simpatisan juga terjadi, baik di dunia nyata, apalagi di dunia maya (media sosial).
Semua calon tentu wajar menganggap dan mengkampanyekan dirinya sebagai pilihan terbaik. Namun yang paling penting saat ini adalah bagaimana masyarakat mampu merespon dan menyikapi dengan baik kehadiran para calon pemimpin daerah dan janji-janji manis yang dibawanya. Masyarakat harus mampu berfikir kritis untuk memilah, lalu memilih calon yang memang layak jadi pemimpin. Masyarakat tidak boleh tertipu oleh para calon yang sekadar pemimpi. Tanpa kemampuan itu, maka kehadiran lima menit di TPS berpeluang menggadaikan masa depan daerahnya lima tahun ke depan.
Pemimpin, Bukan Pemimpi
Lalu, bagaimana caranya masyarakat mampu membedakan calon pemimpin yang bukan sekadar pemimpi? Penelusuran terhadap rekam jejak menjadi acuan utama. Rekam jejak bisa dilihat dari aspek latar belakang pendidikan, karier, integritas dan keberpihakan terhadap masyarakat. Bagaimanapun, kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih akan menjadi pemimpin sekaligus panutan bagi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Setelah menilai latar belakang, maka perlu dinilai juga rasionalitas dari janji-janji kampanye tersebut. Sebab janji kampanye bukan cek kosong yang bisa diterima masyarakat begitu saja.
Lantas, syarat apa saja yang harus dimiliki seorang calon kepala daerah/wakil kepala daerah untuk layak disebut sebagai pemimpin? Pertama, pemimpin itu harus muda dan cerdas. Pengertian ‘muda’ dalam hal ini bukan sekadar dilihat berdasarkan usia. Melainkan lebih kepada aspek semangat dan jiwa kepemimpinan. Semangat jiwa muda akan dipenuhi daya kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Syarat ini hanya terpenuhi jika dibalut dengan keerdasan, baik kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosional. Kecerdasan tidak bisa juga dimaknai sekadar kemampuan akademis atau pendidikan formal. Gelar akademik memang menentukan, tetapi hal tersebut bukan satu-satunya ukuran.
Seseorang akan dianggap cerdas jika mampu menjadi specialist in generalist. Artinya, ketika suatu saat dipercaya jadi pemimpin daerah, ia mampu membiasakan diri berpikir plural, interdispliner, dan bertindak in terms of them. Sifat pluralis sangat wajar dituntut ada pada diri seseorang pemimpin karena kemajemukan bangsa ini, baik dalam suku, wilayah, adat, budaya, agama, dan golongan. Pemimpin cerdas akan akan mampu meningkatkan serapan APBD dengan kreatifitas dan inovasi yang dimilikinya.
Kedua, pemimpin itu juga harus jujur. Syarat jujur sangat dibutuhkan karena salah satu permasalahan utama pemerintahan daerah saat ini adalah tingginya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme. Puluhan kepala daerah pun sudah terkena OTT oleh KPK. Dalam hal ini, jujur tak dapat ditakar dengan angka. Namun, setidaknya ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan, yakni bahwa pemimpin harus (1) menjunjung tinggi kebenaran, (2) mengelakkan apa saja yang berlawanan dengan kebenaran dan memiliki kesadaran yang mendalam tentang kebenaran, (3) terus memupuk kebenaran dalam ingatan, dan (4) bisa membedakan antara ‘kebenaran’ dengan ‘berkata benar’.
Ketiga, seorang pemimpin yang jujur pasti memiliki keberanian. Dalam hal ini, keberanian dan kejujuran ibarat dua sisi mata uang. Saling terkait karena pemimpin harus mempunyai keberanian untuk menegakkan kebenaran dan menyatakan kejujuran. Pemimpin daerah yang jujur dan berani hanya lahir dari proses rekrutmen kepala daerah/wakil kepala daerah yang fair dan transparan. Dalam hal ini, partai politik sebagai institusi pengkaderan pemimpin politik memiliki posisi dan peran yang sangat krusial dan menentukan.
Dengan pemenuhan syarat-syarat tersebut, maka seseorang dengan sendirinya memiliki jiwa kepemimpinan (leadership) yang mampu memberi teladan dan menggalang aspirasi dan tekad rakyat. Bagaimanapun, pemimpin merupakan pendidik yang mempunyai tugas membimbing. Hal ini diterjemahkan dari pesan Bapak Pendidikan kita almarhum Ki Hajar Dewantara bahwa pendidik adalah teladan (sung tulada) bila sedang berada di depan, selalu membina tekad bersama (mangun karsa) bila sedang berada di tengah-tengah masyarakat, dan selalu mengikuti sambil mengarahkan (tut wuri handayani) bila sedang berada di belakang. Dalam kosa kata modern, jenis kepemimpinan seperti ini disebut kepemimpinan transformatif atau transforming leadership.
Pemimpin yang transformatif akan mampu meraba hal paling halus yang tersembunyi di benak masyarakatnya. Tentu, pemimpin transformatif tidak hadir begitu saja dengan sendirinya. Dibutuhkan usaha-usaha yang dapat secara efektif untuk mengajak masyarakat secara sadar menolak pemimpin yang hanya menjadi pemimpi saja. Caranya dengan menggunakan hak pilih dengan sebaik-baiknya. Memilih calon yang memang benar layak sebagai pemimpin bukan karena faktor kedekatan hubungan kepentingan, emosional dan kultural semata. Mengutip adagium para pecinta demokrasi, vox populi, vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Oleh karena itu, mari menggunakan suara kita dengan sebaik-baiknya.
===
Penulis adalah dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UGM Yogyakarta; Penulis buku Pemilu dalam Transisi Demokrasi Indonesia.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]