Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Kompleksitas kerusakan lingkungan di Kawasan Danau Toba (KDT) cukup parah melingkupi tanah, air dan udara. Pencemaran itupun sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Pelakunya juga beragam. Baik perusahaan, industri wisata maupun aktivitas masyarakat.
Hal itu terungkap dalam diskusi "Memotret dan Menakar Kesehatan Air Danau Toba" yang digelar Komunitas Bumi, di Caldera Coffee, Jalan Sisingamangaraja Medan, Jumat sore (21/2/2020). Sebagai pemantik diskusi pengamat lingkungan, Jaya Arjuna.
Jaya memaparkan data-data dari hasil survei Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut dalam kurun tahun tertentu. Data-data itu menunjukkan tingkat kerusakan yang semakin parah dari tahun ke tahun.
Disebutkan, potensi kerusakan itu salah satunya disebabkan karena aktivitas kerambah jaring apung (KJA), baik milik masyarakat maupun perusahaan. Setiap tahun jaring apung terus bertambah di Danau Toba. Jika pada 2005 jumlah KJA 2.845 unit, di 2007 bertambah menjadi 5.612 unit. Dua tahun kemudian (2009) jumlahnya menjadi 6.269 unit dengan luasan 6.169 Ha yang tersebar di 51 titik.
"Dalam laporan kajian Daya Tampung Beban Pencemaran Danau Toba Tahun 2012 oleh BLH Provinsi Sumatera Utara dinyatakan bahwa KJA milik masyarakat secara pribadi maupun perusahaan sudah mencapai 8.428 unit dan milik PT Regal Springs Group sebanyak 484 unit dengan total produksi ikan sebanyak 54.935,5 ton/tahun," kata Jaya.
Limbah pakan ikan yang digunakan pada daerah-daerah konsentrasi keramba jaring apung ini dapat menimbulkan pencemaran perairan setempat dengan bahan organik dengan hasil rombakannya terutama unsur N, P dan K yang dapat menimbulkan penyuburan perairan danau, terutama di kawasan perairan di sekitar lokasi keramba jaring apung.
Penyuburan perairan oleh limbah pakan ikan ini mendorong terjadinya proses eutrofikasi dan menambah beban pencemaran, karena adanya sisa-sisa pakan yang tidak habis dikonsumsi ikan. Proses eutrofikasi yang terjadi di sekitar lokasi-lokasi budidaya keramba jaring apung, mendorong tumbuh berkembangnya tumbuhan air eceng gondok dan ganggang. Selain itu, limbah masyarakat dan usaha restoran, termasuk minyak kapal juga ikut mencemari air Danau Toba.
Kerusakan juga terjadi pada hutan yang juga berdampak pada siklus air. Menurut laporan Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara tahun 2012, luas hutan di daerah tangkapan air ( DTA) Danau Toba tahun 1985 adalah 78.558,18 Ha (28,14% dari luas DTA). Tahun 1997 dan tahun 2001, luas hutan ini menyusut menjadi 22,15% dan 13,47%.
Berdasarkan hasil analisa satelit tahun 2012 luas hutan di DTA Danau Toba hanya tinggal 12,6%. Dari jenis lahan dan luas tutupannya di DTA Danau Toba dapat diklasifikasi atas 22% (57.604,88 Ha) sebagai status hutan walaupun saat ini faktanya hanya 12,6%. Pertanian 31,2 % (81.918,23 Ha), padang rumput 38,4% (100.590,47 Ha) dan sawah 8,4% (22.100,03 Ha).
"Meski sudah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional, penjarahan hutan di Kawasan Danau Toba terus terjadi. Kasus terbaru adalah penjarahan hutan Tele seluas 800 Ha oleh perusahaan GDS. Padahal hanya pada areal hutan itulah tegakan pohon alami yang masih tersisa di Kabupaten Samosir," tambah Jaya.
Saat ini, ±1.500 Ha kawasan hutan Sicil.e-Cike yang merupakan taman wisata alam di Hutan Lindung Adian Tinjoan telah dirusak. Demikian juga dengan kawasan hutan milik negara yang dikelola BKSDA Provinsi Sumatera Utara seluas 575 Ha dirusak. Di Desa Sionggang Utara, Kecamatan Lumban ]ulu Kabupaten Toba Samosir terdapat hutan-hutan reboisasi milik negara yang beralih fungsi menjadi lahan milik perorangan. Penjarahan kayu juga terjadi di Hutan Register 9L, Desa Aek Natolu ]aya, Kecamatan Lumban Julu.
Kasus lainnya adalah penebangan pohon kawasan areal reboisasi di Desa Hutapining, Kecamatan Ajibata. Kasus lain adalah Penebangan pohon pinus secara illegal seluas ± 60 Ha di Desa Ujung Bawang Kabupaten Simalungun.
Potensi pencemar lainnya yang sangat potensial merusak Danau Toba adalah limbah perternakan babi PT Alegrindo Nusantara di Tiga Runggu, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun. PT Alegrindo Nusantara memelihara 30-40 ribu ekor babi. Kotoran babi yang dapat menjadi media perantara pembawa virus hepatitis E.
"Volume limbah ternak babi ini baik dalam bentuk padat maupun cair mencapai 1.200 ton, dibuang ke Sungai Silali yang melalui Desa Urung Pane dan akhirnya masuk ke Danau Toba," ujar Jaya.
Kegiatan perternakan babi PT Alegrindo Nusantara sudah beroperasi selama ± 16 tahun pada lahan seluas 46,8 Ha yang masuk pada register 44. Kegiatan pertanian yang secara tidak langsung menimbulkan pencemaran dan beban kerusakan adalah residu pupuk dan pestisida yang terbawa air hujan ke perairan.
Pupuk dan berbagai limbah perternakan dan perikanan menyebabkan perairan danau semakin kaya dengan nutrient atau phospat yang belebihan. Dampaknya dapat dilihat dari air yang berbau tidak sedap dan kekeruhannya meningkat. Indikator biologis peningkatan kandungan phospat dalam air antara lain dari penurunan kandungan Oksigen dalam air dan makin meluasnya tutupan enceng gondok di perairan. Absennya oksigen dalam air mengakibatkan gangguan terhadap kehidupan biota air sehingga ekosistem air jadi terganggu.