Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Kekerasan terhadap perempuan baik dalam rumah tangga maupun seksual masih terus terjadi di Indonesia khususnya di Sumatera Utara (Sumut). Bahkan kecenderungan kekerasan terhadap perempuan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Koordinasi Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (Hapsari) Sumut, Sri Rahayu mengatakan, relasi yang tidak setara dan masih kuatnya budaya patriarki serta rendahnya edukasi tentang perlindungan terhadap perempuan dianggap menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masih tingginya kekerasan terhadap perempuan.
"Tak hanya itu, lemahnya penegakan hukum terhadap para tersangka menjadi salah satu masih tingginya kekerasan terhadap perempuan," ungkapnya kepada wartawan di Medan, Senin (24/2/2020).
Melihat hal tersebut, Sri berpendapat, pelayan terintregrasi terhadap para korban dinilai menjadi salah satu solusi untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan. Ia menjelaskan, karena dengan pelayanan yang terintregrasi dari seluruh stakeholder baik dari organisasi perempuan, pemerintah dan penegak hukum dinilai menjadi solusi ampuh.
"Kekerasan terhadap perempuan akan terus meningkat jika layanan terhadap korban tidak terintregrasi. Karena kekerasan yang terjadi tidak hanya menjadi tanggung jawab LSM atau organisasi perangkat daerah yang punya fokus terhadap isu tersebut," jelasnya.
Sri memaparkan, berdasarkan catatan Hapsari, di tahun 2018-2019 ada 266 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi. Dimana, sebanyak 133 kasus diantaranya didampingi oleh Hapsari.
"Dalam hal ini, kasus yang ditangani oleh Hapsari ini rata rata merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga," ujarnya.
Sri mengakui, dalam penanganan kasus terhadap perempuan pihaknya juga masih kerap mendapatkan sejumlah kendala. Salah satu kendala yang sering terjadi, kata dia adalah, para penegak hukum yang tidak memiliki perspektif bahwa perempuan korban kekerasan.
"Sehingga kerap kali korban menjadi korban kembali," terangnya.
Tak hanya itu, sambungnya, keharusan korban menghadirkan dua orang saksi dalam pelaporan kasus kekerasan dinilai juga kerap merintangi proses hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan.
"Ini lah yang kerap terjadi khususnya pada kasus kekerasan seksual terhadap anak, dimana yang melihat kejadian itu hanya anak. Itu menurut mereka belum bisa dijadikan saksi," pungkasnya.