Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sorotan terhadap RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) terus datang dari berbagai kalangan. Selain dari kaum buruh, RUU ini juga dikritik kalangan mahasiswa. Salah satunya dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Menurut GMNI, RUU ini wujud konsolidasi para pemilik modal (nekolim) dengan rezim pemerintah Jokowi.
Demikian dikatakan Ketua DPP GMNI Bidang Politik, Maman Silaban dalam siaran persnya yang diterima medanbisnisdaily.com, Selasa (25/2/2020).
"Kami melihat RUU Omnibus Law Ciptaker ini dirancang sebagai wujud konsolidasi para nekolim (pemilik modal-red) dengan pemerintah. Sudah jelas tujuannya agar para pemilik modal mau berinvestasi di dalam negeri dan investor asing mau berinvestasi di Indonesia, karena ketidakmampuan rezim jokowi dalam pengentasan kemiskinan dan pengangguran," kata Maman.
Berdasarkan data BPS/september 2019, sambung Maman, jumlah penduduk miskin Indonesia tercatat sebanyak 24.79 juta jiwa dan jumlah penganggurannya sebanyak 7.05 juta jiwa yang mana mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Harusnya yang di Omnibuskan adalah pasal-pasal yang selama ini menjadi permasalahan bagi para marhaen (rakyat kecil). Bukan malah menguatkan pasal-pasal yang semakin menyiksa kaum marhaen tadi, ujarnya.
"Semisal, sesuai pasal 90 ayat 1 UU Ketenagakerjaan, perusahaan yang memberi upah lebih rendah dari upah minimum maka akan dikenakan sanksi pidana.
Tetapi, melalui Omnibus Law Ciptaker malahan pasal ini di hapuskan. Inikan akan menambah penderitaan lagi bagi para pekerja/buruh," tegasnya.
Omnibus law adalah satu undang-undang yang dibuat untuk menyasar satu isu besar dengan mencabut atau mengubah UU sekaligus agar lebih sederhana. Berarti dalam konteks ini, rezim Jokowi menganggap para marhaen dan pengangguran menjadi isu besar yang harus diselesaikan.
Kalau benar ini yang menjadi isu besarnya, seharusnya rezim Jokowi harus mencari jalan keluarnya dengan berdialog dengan para marhaen (buruh/tani/nelayan/rakyat miskin kota lainnya) dan pengangguran, bukan hanya berdialog dengan para pemilik modal. Marhaen itu juga adalah stakeholder, tegas Maman.