Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Bagi Mangitua Ambarita, salah seorang masyarakat adat Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, menjaga tanah adat adalah amanah leluhur untuk anak cucu. Karena itu, tanah adat harus dipertahankan untuk diwariskan dan dimanfaatkan generasi penerus. Namun hal itu bukan tanpa risiko. Begitupun, masyarakat adat tidak boleh menyerah.
"Saya pernah dipenjara 2 tahun karena mempertahankan tanah adat kami dan anak-anak saya jadi tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Tapi bagi saya, mempertahankan tanah adat itu pesan leluhur, satu amanah," kataMangitua di acara diskusi publik "Mengenal Muslihat Industri Kertas PT TPL", di Kantor Walhi Sumut, Jalan Bunga Wijaya Kusuma, Medan, Selasa sore (25/2/2020).
Mangitua mendorong agar peserta diskusi tetap optimis sekalipun berhadapan dengan penguasa dan pemilik modal. Sebelumnya, salah seorang pemantik diskusi yang juga akademisi Universitas HKBP Nommensen, Medan, Dimpos Manalu, mengatakan, kejahatan korporasi di Indonesia sejatinya tidak berubah sejak zaman otoriterianisme orde baru hingga saat ini. Bahkan kejahatan korporasi terus mekar, sebaliknya gerakan masyarakat justru kian surut.
Salah seorang kerabat Mangitua, Domu Ambarita yang dikonfirmasi medanbisnisdaily.com, Rabu (26/2/2020) membenarkan cerita Mangitua. Domu mengisahkan, pada November 2004, Mangitua bersama 2 warga Sihaporas lainnya ditangkap polisi. Penangkapan itu disebut Domu imbas dari perjuangan mereka mengambil kembali tanah adat mereka dari konsesi TPL yang dulunya bernama Indorayon.
"Tahun 1998 waktu Indorayon tutup, masyarakat adat Sihaporas yang keturunan Ompu Mamontang Raja Laut Ambarita berusaha mengambil kembali tanah adat mereka. Sejak itu beberapa kali terjadi penangkapan terhadap warga Sihaporas. Termasuk kepada Mangitua. Indorayon pun kembali beroperasi dengan berganti nama menjadi TPL di masa pemerintahan Megawati," jelas Domu.
Sejak Mangitua ditangkap, lanjut Domu, anaknya yang kuliah di Unpad tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Begitu juga dengan anak-anaknya yang lain. Isterinya juga stroke selama puluhan tahun. Mangitua menurut Domu harus berbesar hati mengalami itu, demi mempertahankan tanah adat warisan leluhurnya.