Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya tiba-tiba teringat humor yang dikisahkan oleh Nasrudin Khoja. Filsuf dari Turki abad ke 13 itu bercerita bahwa suatu hari dia bersama anaknya berjalan ke sebuah desa dengan menungang seekor keledai.
Seorang perempuan nyelutuk. "Anak muda yang kuat naik keledai tapi ayahnya yang sudah tua justru berjalan kaki. Tega sekali,'' katanya.
Mendengar itu, anaknya turun dan lalu digantikan sang ayah. "Hai, Orang Tua, tulang Anda sudah tua dan layu, selangkah lagi Anda dikubur. Tapi anak muda ini haruskah berjalan dan menjadi layu?"
Serba salah. Khoja kemudian menunggang keledai itu berdua dengan anaknya. Eh, ternyata terdengar kecaman. “Kejam sekali, kasihan hewan itu. Terlalu berat untuk menanggung beban dua orang.”
Tak ayal, keduanya turun dari keledai. Tapi Orang-orang yang melihat malah menilai mereka bodoh karena membiarkan keledai berjalan tanpa beban..
Tak pelak, keduanya lalu memikul keledai itu. Aduhai, orang-orang malah berteriak bahwa keduanya sudah gila.
Demikianlah, ada saja segelintir masyarakat yang memandang sesuatu atau peristiwa dengan “kacamata hitam.” Selalu berburuk sangka dan tak bisa memandang sesuatu dari angle lain, yang husnuzon.
Padahal orang tua yang membiarkan anaknya menaiki keledai bisa saja justru karena cinta kepada putranya. Lagi pula seorang tabib menasehatinya agar banyak berjalan kaki. Adapun anakmuda yang rela orangtuanya menaiki keledai boleh jadi karena hormat kepada ayahnya.
Ketika mereka menaiki keledai berdua tak mustahil pura-pura saja. Tak lain hanya sebagai pancingan terhadap man on the street yang cerewet. He-he, terbukti mendadak ada saja yang mencemooh.
Bahkan ketika mereka berdua memanggul keledai itu pun justru untuk memicu keusilan publik. Benar saja ada saja yang mengecam. Umpan mereka serta merta kena, dan keduanya tertawa dalam hati.
Sesunggunya mereka tetap mencintai keledai itu. Terbukti keduanya pun berjalan beriringan dengan keledai itu tanpa menungganginya. Agaknya, mirip dengan orang-orang yang berjalan bersama anjing peliharaannya dengan mesra.
Jika meminjam pendapat Jacques Derrida yang mengikuti jejak Nietzhe dan bilang bahwa fakta kebenaran itu relatif. Yang ada hanya interpretasi dan persfektif di benak orang.
Artinya, hanya berada di “langit wacana” – di kalangan segelintir orang, tapi belum tentu berpijak di bumi realitas.
Semoga kita bukan golongan SMS, senang melihat orang susah, atau susah melihat orang senang. Selamat berhari Minggu.