Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Bila Anda adalah orang tua yang selalu mendorong anak-anak untuk harus selalu meraih predikat juara, baik di sekolah maupun dalam ajang-ajang kompetisi seperti olimpiade, lomba pidato, lomba menggambar, lomba mewarnai, dan berbagai jenis kompetisi lainnya, tulisan ini mudah-mudahan bisa mengubah perspektif Anda dalam memahami hakikat pendidikan bagi anak.
Perasaan bangga saat anak mendulang prestasi dengan meraih predikat nomor satu dalam berbagai jenis perlombaan, apalagi dalam bidang akademis merupakan hal yang normal. Yang menjadi tidak wajar adalah, disadari atau tidak, keegoisan dalam diri para orang tua mulai tumbuh ketika menganggap keberhasilan dalam kompetisi sebagai indikator tunggal dalam menentukan kesuksesan pendidikan anak.
Orang tua kerap kali terlalu memaksakan keinginan dalam mengarahkan ke mana sang anak harus bergerak. Padahal, keinginan anak belum tentu sejalan dengan apa yang didambakan orang tua. Salahkah? Tentu saja salah! Apalagi jika obsesi itu begitu besarnya. Anak-anak yang gagal meraih juara atau menurun prestasinya kemudian diberikan hukuman fisik atau dipaksa belajar secara membabibuta. Hukuman dan paksaan itu seolah menjadi legitimasi untuk menyadarkan sang anak bahwa ketidakberhasilan dalam perlombaan atau penurunan capaian akademis adalah hal yang buruk. Pada akhirnya perlombaan menjadi sangat didewakan. Anak-anak pun didorong bukan hanya untuk berpartisipasi tapi juga meraih prestasi.
Tidak Mendidik
Dewasa ini kompetisi adalah sistem yang tidak tepat dalam paradigma pendidikan. Metode lomba bila digunakan dalam ranah pendidikan sebenarnya gagal menggali serta memaksimalkan potensi anak.
Tontonlah film Three Idiots. Viru Sahastrabuddhe, sang profesor ‘killer’ selalu menekankan pada para mahasiswanya bahwa life is a race (hidup adalah perlombaan). Dia sangat tergila-gila pada persaingan yang kompetitif, sehingga menyebabkan anak kandung dan mahasiswanya bunuh diri akibat stress yang luar biasa.
Pada akhirnya metode sang profesor berhasil dipatahkan oleh seorang mahasiswa jenius. Persepsinya tentang pendidikan pun berubah total−dia tidak lagi tergila-gila pada persaingan dan memberi kebebasan pada mahasiswa dan cucunya untuk mendalami bakat dan minat masing-masing. Film ini memberi moral lesson yang sangat berharga dan mengkritisi pola didik yang salah kaprah khususnya pada sistem kompetisi yang begitu kita gemari.
Ada ungkapan yang sering diucapkan perihal kompetisi, yakni “Bersainglah dengan sehat!” Pada kenyataannya persaingan tidak akan pernah menjadi sehat secara substansi. Dalam kompetisi, seorang anak akan menganggap peserta lainnya sebagai batu sandungan bagi dirinya menuju predikat yang terbaik. Alhasil, semua kompetitior harus ditaklukkan meski dalam kesehariannya mereka berteman.
Sistem rangking selama ini di sekolah juga tidak tepat. Dalam satu kelas biasanya ada puluhan peserta didik. Dari puluhan jumlah itu, hanya ada satu anak yang akan dianggap murid terbaik karena meraih juara satu. Tak jarang, sang juara diberi hadiah seperti piagam penghargaan hingga beasiswa berupa bantuan uang sekolah misalnya. Lantas bagaimana dengan murid-murid lainnya? Murid-murid yang berada di urutan-urutan bawah akan merasa terpinggirkan dan mengaggap dirinya gagal serta tidak mampu.
Padahal bisa saja keahlian mereka ada di bidang lain namun tidak diakomodir oleh sekolah. Setiap anak adalah pribadi unik yang memiliki bakat, keistimewaan dan kebutuhan belajar yang tidak sama. Oleh sebab itu, dalam konteks ini persaingan akan menumbuhkan persepsi negatif: yang juara akan selalu menganggap dirinya unggul dan melebihi teman-temannya, sementara yang tidak meraih juara apalagi yang berada di ranking buncit akan selalu merasa kalah dan bodoh.
Kompetisi juga menghadirkan diskriminasi terselubung. Sering terlihat perbedaan perlakuan terhadap anak yang juara dengan yang tidak. Tulisan ini bukan hendak mendiskreditkan anak-anak berprestasi serta usaha-usaha keras guru dan sekolah membimbing mereka hingga berhasil menorehkan prestasi yang bahkan bisa mencapai level internasional. Hanya, cara kita memandang kompetisi harus diubah. Artinya, kompetisi tidak boleh dijadikan sebagai satu-satunya tolak ukur dalam pendidikan.
Beralih ke Kooperatif
Sistem kompetisi memang menjadi dualisme dalam dunia pendidikan global. Negara-negara yang masih setia menganut paham ini adalah pihak-pihak yang sangat welcome dengan ajang persaingan di kalangan pelajar melalui olimpiade bidang-bidang studi tertentu. Indonesia adalah salah satu dari negara-negara ini. Negara lain seperti Finlandia adalah yang tidak mendukung paham ini dan menggunkan model kooperatif.
Finlandia yang mengusung jargon kooperatif saat ini adalah salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Negara Nordik ini menginspirasi banyak negara, termasuk Indonesia yang perlahan mulai mengadopsi sistem pendidikan di sana. Saya yakin, jika mau dibandingkan, koleksi medali olimpiade pelajar kita lebih banyak dari pelajar-pelajar Finlandia. Tapi, berbicara mengenai mutu pendidikan dan totalitas pengelola pendidikan, kita kalah jauh.
Sistem kooperatif memberikan semua individu mengambil peran dalam setiap kegiatan atau project. Kebersamaan inilah yang menanamkan nilai kesetaraan. Murid-murid akan saling menganggap penting setiap rekannya. Ketika semua merasa punya kontribusi, kepercayaan diri pun meningkat.
Dalam sistem kooperatif, setiap peserta didik yang terlibat memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda sehingga memberikan ruang yang luas untuk menemukan potensi dalam diri masing-masing. Perbedaan peran ini jugalah yang memberikan pemahaman bahwa setiap anak itu unik dan memiliki kelebihan masing-masing.
Sebagai contoh, ketika siswa-siswi dibentuk dalam sebuah tim untuk melaksanakan pagelaran seni seperti orkestra atau tari, anak-anak yang piawai bermain musik atau menari bisa mengambil peran di atas panggung, yang cekatan untuk urusan desain akan bertugas mendekorasi pentas, yang ahli dokumentasi akan berperan menjadi fotografer dan yang berbakat dalam urusan humas dan pemasaran akan diberi mandat menggalang dana atau mengiklankan pagelaran mereka ke masyarakat.
Sistem belajar kooperatif lebih mengakomodir perbedaan kebutuhan belajar, minat dan bakat dalam diri seorang pelajar. Berbeda dengan kompetisi yang cenderung mengedepankan individualistis. Maka tepatlah yang dikatakan oleh Albert Einstein,“Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing it is stupid.” (Setiap orang itu jenius. Namun, jika ikan dinilai dari kemampuan memanjat pohon, maka sepanjang hidupnya ikan itu akan menganggap dirinya bodoh).
Kesalahan utama yang selama ini muncul dalam sistem kompetisi di sekolah adalah tolak ukur keberhasilan dilihat sebatas dari nilai yang tinggi di setiap mata pelajaran tanpa mendalami apa sebenarnya yang menjadi keunggulan seorang anak. Pada akhirnya, kooperatiflah yang harus lebih dikedepankan. Kompetisi hanya boleh dilaksanakan sebagai ajang mengenali kemampuan serta batasan-batasan yang dimiliki. Kompetisi tidak boleh dijadikan sebagai indikator utama dan satu-satunya dalam menilai seorang anak.
===
Penulis adalah kolomnis lepas, dosen STIE Eka Prasetya dan guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]