Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kedatangan Raja Belanda Willem Alexander dan Ratu Maxima ke Sumatra Utara, mengingatkan kita bagaimana kolonial Belanda membangun kawasan ini.
Syahdan, kota Medan yang berdiri pada 1 Juli 1590 dibangun penjajah Belanda demi kepentingan mereka. Berbagai infrastruktur, seperti jalan, jembatan, bank, kereta api, pelabuhan laut dan udara dibangun demi kepentingan bisnis kaum penjajah. Yakni, untuk mengangkut hasil bumi dan perkebunan kita ke benua-benua asing.
Eh, sekarang fenomena itu masih berlangsung. Kota-kota besar di Indonesia, termasuk Sumatera Utara, juga masih “melayani” kota-kota besar di dunia. Produk negara luar dengan mudah mengalir ke Indonesia. Kirim ke Medan (atau Jakarta dan Surabaya), akan mengalir juga ke pelosok Indonesia.
Dalam pada itu, kota besar di Indonesia diperlukan pula sebagai kolektor CPO, karet dan sebagainya dan mengirimkannya ke Eropa, AS dan lainnya. Logislah jika ibukota propinsi dibangun lebih mentereng dibanding daerah kabupaten dan kota.
Bolehkah kita sebut bahwa kota-kota besar di Indonesia telah berperan sebagai “mesin keruk” dari segenap surplus ekonomi dari hintherland (daerah belakang)?
Bayangkan saja betapa kayanya importir karet di luar negeri dibanding eksportir karet di ibukota propinsi. Apalagi jika dibandingkan dengan petani karet di pedesaan.
Sibolga di pantai barat Sumut pernah makmur di masa penjajahan, tak lain karena beroperasinya armada kapal niaga dari dan ke Eropa mengangkut karet serta sebaliknya mendistribusikan tekstil, roti, susu dan sebagainya dari Eropa ke Tapanuli.
Kemakmuran pun menjalar ke Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan, karena Sibolga dibangun Belanda sebagai pusat “mesin keruk” dan bandar ekspor.
Namun beberapa tahun setelah Belanda pergi, Sibolga dan daerah belakangnya pun sepi dari perdagangan internasional. Daerah-daerah inilah, Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Dairi dan beberapa kabupaten lainnya yang menghendaki adanya pemekaran provinsi.
Kehendak mendirikan propinsi baru juga terdengar dari beberapa kabupaten dan kota di bekas Tapanuli Selatan. Termasuk Pulau Nias di Samudera Indonesia berkeinginan pula menjadi propinsi baru.
Labuhanbatu yang sekarang terdiri dari tiga kabupaten juga telah meluncurkan wacana menjadi propinsi baru, yang bergabung dengan Kabupaten Asahan dan Kota Tanjungbalai.
Economic Geography
Inti persoalannya, kebijakan kolonial Belanda yang menempatkan kota propinsi di Indonesia sebagai kolektor hasil surplus ekonomi kabupaten-kota, haruslah dibongkar. Tidak seperti selama ini, kota propinsi dikenal sebagai “pusat segala-galanya.” Mulai dari pendidikan, politik, sosial, kebudayaan, perekomian dan sebagainya, yang otomatis menyedot urbanisasi.
Akibatnya, kabupaten dan kota di daerah semakin tertinggal, sebuah gejala yang terjadi di banyak propinsi di Indonesia.
Kota-kota provinsi tak semestinya memposisikan kabupaten/kota sebagai satelit semata. Salah satunya, dengan membangun basis industri otonom, katakanlah industri hilir berbahan baku komoditas sesuai potensi masing-masing yang menyebar di berbagai kabupaten.
Mungkin, inilah yang disebut dengan economic geography. Yakni, terciptanya konsentrasi populasi dan bisnis yang bertebaran di berbagai kabupaten-kota di Indonesia sesuai potensi dan kelayakan bisnisnya.
Apalagi dibarengi dengan pembangunan sarana dan fasilitas pendidikan, kebudayaan, hiburan dan sebagainya yang juga menyebar ke berbagai kabupaten-kota. Ini, akan membuat munculnya peta multi pusat pertumbuhan di berbagai daerah di luar ibukota propinsi.
Tentu saja juga harus menyiapkan tersedianya infrastruktur memadai, sehingga ongkos transpor menjadi efisien.
Inilah yang mendorong urbanisasi ke multi pusat pertumbuhan baru. Tidak lagi terkonsentrasi di kota propinsi. Urbanisasi yang menyebar ke berbagai kabupaten-kota akan mendorong penyebaran pertumbuhan yang diikuti oleh penampungan tenaga kerja.
Dengan demikian, economic geography pun semakin menyebar. Kita terbebas dari mindset kolonial yang membangun kota propinsi hanya untuk kepentingan bisnis mereka.
Belanda sudah jauh, tetapi kita masih mewarisi pola pembangunannya yang sentralis. Aduhai!