Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Jabat erat, berpelukan dan cipika-cipiki untuk sementara diinterupsi. Inilah, akibat pandemi corona yang mencemaskan dunia. Syahdan, kontak langsung secara pisik antarmanusia membuka peluang penularan virus corona. Padahal, jabat erat, berpelukan dan cipika- cipiki adalah pertanda keakraban. Dia digerakkan oleh batin dan lalu menggejala secara pisikal.
Namun kesadaran kollektif menghindari penularan Corona membuat orang di berbagai belahan bumi seolah-olah kehilangan keakraban. Padahal masih membuncah di hati, namun apa daya risikonya sekecil dan sebesar apapun membuat orang seakan-akan kehilangan keakraban.
Tapi saya percaya bahwa keakraban akan selalu ada. Misalnya, ditandai dengan tatapan mata seraya menyunggingkan senyuman. Atau saling meletakkan kedua tangan yang merapat di dada.
Namun keakraban tak selalu datang dari hati yang murni. Keakraban dua politikus yang cipika-cipiki walau berseberangan kadang menimbulkan banyak penafsiran. Bisa jadi hanya pamer politik yang hendak mengesankan sikap kenegarawanan. Padahal hatinya berdesir, “Anda adalah musuh politikku.”
Kepentingan politik mereka akan selalu berbeda. So pasti dalam Pemilu saling ingin merebut suara terbanyak dan mengalahkan partai politik orang yang dipeluknya dengan erat. Artinya, semakin erat pelukan justru semakin tebal interestnya.
Keakraban dua pebisnis yang bergerak di bidang yang sama, tak kalah menariknya. Boleh saja kala ngobrol keduanya saling tertawa lebar. Tapi sesungguhnya perbedaan kepentingan bisnis mereka semakin lebar pula.
Selalu ada kompetisi yang ingin saling mengungguli. Saling ingin memenangkan tender proyek, yang berarti ada yang dikalahkan. Berlomba merebut kuota ekspor dan impor. Yang satu tertawa yang lain cemberut, atau hanya setengah tertawa.
Bukannya suudzon, dan tak husnuzon terhadap keakraban. Tapi keakraban yang artifisial dan hanya di permukaan barangkali hanya sekadar seni pergaulan. Agar dianggap friendly, dan tidak egoistis.
Eh, ketika virus corona mencemaskan dunia. berbagai simbol keakraban bagaikan didekonstruksikan. Setiap orang waspada. Hati-hati.
Namun saya yakin keakraban tetap bersemi di dalam hati manusia. Sebab tak ada manusia yang bisa hidup sendirian di muka bumi ini.
“Berdua lebih baik daripada seorang diri. Jika seorang di antara mereka jatuh, yang seorang lagi dapat mengangkat rekannya,” kata Raja Salomo.
“Man does not stand alone,” kata Abraham Cressy Morrison, seorang pakar Amerika Serikat dalam sebuah judul bukunya. Tabik!