Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Waduh. Dolar AS, Kamis (19/3/2020)sudah bergerak di level Rp 15.929. Angka ini yang tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Kita ingat, saat kisis moneter 1998, dolar AS sempat menyentuh level Rp 16.650.
Memang sejarahnya berbeda. Kala itu, di era orde baru, dolar AS berada di kisaran Rp 2.000. Sempat di Rp 1.977 per dolar AS pada 1991. Namun saat krisis moneter, terjadi pelemahan rupiah yang sangat drastis. Rupiah terus terkikis seiring kian rontoknya cadangan devisa Indonesia.
Dolar AS bertahan di kisaran Rp 2.000-2.500 karena Indonesia belum menganut rezim kurs mengambang. Sistem kurs terkendali yang dianut membuat orde baru ingin dolar AS harus bertahan di level itu.
Tapi setelah itu, dolar AS secara perlahan mulai merangkak ke Rp 4.000 di akhir 1997, dan lanjut ke Rp 6.000 di awal 1998.
Namun pada Mei 1998, Indonesia memasuki periode kelam. Penembakan mahasiswa, kerusuhan massa, dan kejatuhan orde baru membuat rupiah kian 'terkapar'. Sampai akhirnya dolar AS menyentuh titik tertinggi sepanjang masa di Rp 16.650 pada Juni 1998.
Sekarang apa gerangan yang terjadi. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan penyebab utamanya adalah kepanikan para investor di tengah-tengah merebaknya virus corona (covid-19) yang sudah menjangkit 159 negara di dunia.
Investor global sedang menghadapi tekanan yang tinggi. Bahkan, dow jones anjlok. Premi risiko sangat tinggi. “Semua negara menghadapinya," kata Perry di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (19/3) lalu. Lalu, para investor melepaskan banyak asetnya di pasar keuangan dan modal.
"Cash is king,” kata Perry. Jadi bukan karena masalah fundamental, tetapi memang cenderung kepanikan.
Namun BI tetap menjalankan beberapa jurus yang selama ini sudah dilakukan. Misalnya, memastikan mekanisme pasar terjaga, likuiditas terjaga, triple intervension kami lakukan. BI memastikan bagaimana penentuan nilai tukar di pasar itu konvergen. “Dari pagi sampai sore BI selalu ada di pasar. Menjaga confidence,” ungkapnya.
Sebaliknya, menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, di saat seperti ini para pelaku usaha biasanya akan melakukan penyesuaian harga jual hingga 30% dari harga normalnya.
"Beberapa perusahaan sudah mulai melakukan penyesuaian harga jual,” ujar Bhima kepada detikcom, Kamis (19/3).
Tetapi, jika penyesuaian harga tidak diiringi dengan peningkatan daya beli masyarakat, justru berakibat pada peningkatan inflasi pada saat puasa Ramadan hingga Lebaran 2020 mendatang.
Logika Bhima, sektor makanan-minuman dan tekstil akan menaikkan harganya. Bhima mengimbau pemerintah segera memberi stimulus pada sisi supply hingga insentif kepada pengusaha. Misalnya, diskon tarif listrik hingga 40-60%, karena 20% biaya operasionalnya dari listrik dan air. “Apalagi jika ada penangguhan pembayaran cicilan pokok atau bunga perbankan," pungkasnya.
Menurut ekonom Bank Permata, Josua Pardede, masyarakat jangan terpancing untuk melakukan spekulasi. “Tidak perlu panik dan tidak bertindak spekulatif,” kata dia kepada detikcom, Kamis (19/3/2020).
Saat terjadi koreksi di pasar keuangan global seperti saat ini, di mana investor asing cenderung keluar dari pasar keuangan domestik, investor dalam negeri diharapkan tidak melakukan hal yang sama.
"Kita perlu mendorong supaya investor domestik juga masuk ke pasar keuangan,” lanjutnya. Yes, nasionalisme moneter perlu dibangkitkan.