Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Wabah virus corona yang melanda dunia, khususnya Indonesia telah mengubah banyak hal dalam relasi sosial masyarakat. Salah satunya seperti yang dirasakan orang Batak. Kebiasaan mereka yang suka berkumpul dan cara mereka berinteraksi pun mulai berubah. Termasuk dalam momen pesta adat.
Sekarang ini, karena takut terjangkit virus corona, orang Batak dipaksa berpikir dua kali untuk menghadiri pesta adat. Tidak hanya itu, sistem dan prosesi jalannya adat juga ikut berubah. Demikian dikatakan praktisi adat dan budaya Batak Toba, Tansiswo Siagian kepada medanbisnisdaily.com, Senin (23/3/2020).
"Pada hari belakangan ini beberapa pesta orang Batak baik di kota maupun desa sudah sepi. Yang diundang 1.000 tapi yang datang rata-rata 150 orang," kata Tansiswo.
Selain itu, kata pendiri komunitas Palambok Pusu-pusu ini, tata-cara mangulosi juga sudah berubah. Ulos tidak lagi diberikan langsung kepada kedua pengantin, tetapi cukup diletakkan di atas meja. Juga tidak lagi bersalaman dan pelukan hangat, cukup dengan senyum dan meletakkan tangan di dada.
"Tidak ada lagi salaman memberikan panandaion. Sudah hilang syorr para ibu dan bapa berjoget ria karena takut bersentuhan dengan orang lain ketika bersama-sama berjoget Poco-poco, Goyang Deli dan Maumere misalnya, sewaktu memberikan ulos secara ramai-ramai. Tak ada lagi kehebohan di samping gedung, di mana biasanya omak-omak berjoget ria saling menyawer," lanjut Tansiswo.
Memang ada sisi positifnya, karena jalannya pesta adat jadi diminimalisir tanpa mengurangi esensi. Selama ini, kata pengurus Yayasan Pelestari Kebudayaan Batak ini, pesta adat Batak lebih kepada keramaian dan terkesan tempat memamerkan status sosial dan kekayaan. Unsur pestanya lebih dominan dibanding unsur ritualnya.
"Karena diminimalisir, waktu yang dibutuhkan pun hanya 3 jam lebih. Raja parhata (juru bicara) tidak lagi pamer kemampuan merangkai kata dan umpasa yang kadang bersalahan dan hanya sekadar enak didengar. Acara tidak lagi bertele-tele, yang penting hukum dan aturan adat itu berjalan dengan semestinya. Tak perlu banyak pernak-pernik mubajir itu dan show tambahan tanpa makna untuk sekadar menunjukkan tingkat sosial yang berpesta," ujarnya.
Ditambahkan penulis novel "Ilu ni Dainang dan Amangbao Parsinuan" ini, sesungguhnya esensi/unok ulaon (prosesi) adat Batak (Toba) bukan pada ramainya pestanya, tetapi pada roh adatnya. Dan ketika undangan yang hadir hanya seratusan orang saja, tuan rumah tidak lagi merasa malu dan para undangan lain pun tidak lagi mencibir karena pesta tidak ramai.
Pertanyaannya sekarang, ketika ulaon adat hanya dihadiri beberapa orang, terutama pemangku Suhi ni Ampang Naopat serta beberapa undangan lain, sah kah ulaon adat itu?
"Jika semua kita sepakat menyatakan hal itu sah, bukan saja karena virus corona, maka sudah perlu dikaji ulang pesta-pesta adat Batak selama ini dan mendorongnya untuk marulaon adat saja. Dengan demikian yang dominan adalah ritus adatnya, bukan pestanya," tutup Tansiswo.