Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Saat ini sudah mulai banyak instansi pemerintah maupun swasta yang menerapkan work from home (WFH) atau kerja dari rumah. Meski begitu, masih ada juga pekerja kelas bawah dari sektor informal yang bekerja di lapangan dengan pendapatan harian.
Akan tetapi, semenjak banyak sektor lainnya memberlakukan WFH, pekerja kelas bawah ini merasa sengsara. Ada yang sepi pesanan bahkan sama sekali kehilangan pendapatan karena minimnya aktivitas masyarakat sejak WFH imbas virus corona.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra P.G Talattov bilang memang pekerja kelas bawah ini yang pastinya paling terpukul karena imbauan tersebut.
"Kalau kita melihat struktur ketenagakerjaan kita kan ada sekitar 70 juta orang yang bekerja di sektor informal, atau sekitar 55% pekerja kita informal. Artinya memang sektor informal inilah yang menjadi sektor yang sangat terpukul karena kebijakan social distancing atau work from home," ujar Abra kepada detikcom, Senin (30/3/2020).
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan para pekerja tersebut? Menurut Abra, seharusnya sejak awal pemerintah mengeluarkan imbauan WFH, pemerintah bisa menyiapkan kompensasi kepada para pekerja tersebut.
"Dari awal ketika pemerintah mendorong WFH ya harus bersiap juga untuk kompensasi kebutuhan mereka," sambungnya.
Presiden Joko Widodo memang sudah menyiapkan Kartu Sembako Murah senilai Rp 200.000 per bulan untuk sebanyak 15,2 juta keluarga se Indonesia. Akan tetapi, jumlah itu dianggap belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari 1 keluarga. Seharusnya jumlah tunjangan yang diberikan lewat Kartu Sembako Murah itu bisa disesuaikan dengan batas garis kemiskinan di masing-masing provinsi.
"Sebetulnya dana Rp 200 ribu/bulan relatif kecil, idealnya mungkin salah satu yang bisa dijadikan tolak ukur itu misalnya menggunakan batas garis kemiskinan di masing-masing provinsi wilayah. Contoh di Jakarta, itu sekitar Rp 600 ribu/bulan dan itu pun seharusnya untuk 1 orang, jadi kalau untuk 1 keluarga dikali 3 sampai 4 orang harusnya minimal Rp 1,2 juta - Rp 2 jutaan," katanya.
Dihubungi secara terpisah, Pengamat Ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal juga mengemukakan pendapat serupa. Menurutnya, para pekerja kelas bawah akan kehilangan pendapatan mereka secara drastis apalagi bila kebijakan WFH ini berlaku untuk waktu yang cukup panjang.
"Dalam kondisi seperti ini, masyarakat menengah ke bawah terutama yang bergantung pada mobilitas orang harian ini tentu akan terdampak, mereka tentu akan kehilangan pendapatan mereka secara drastis, kalau tidak seluruhnya paling tidak sebagiannya, ini yang harus diantisipasi," ujar Faisal kepada detikcom.
Selain itu, para pekerja kelas bawah juga bakal kesulitan ketika hendak mencari pendapatan dari pekerjaan lainnya. Sebab tak didukung oleh situasi sosial yang juga terbatas saat ini.
"Mau men-switch ke jenis pekerjaan lain juga tidak gampang, kalaupun switch juga pilihan yang mereka cari itu rata-rata bergantung pada mobilitas orang, jadi kemungkinan besar apapun pilihan mereka untuk ganti pekerjaan tetap akan kehilangan pendapatan mereka," tambahnya.
Untuk itu, pemerintah diminta untuk menyiapkan secara matang antisipasi atas situasi tersebut. Kompensasi kepada para pekerja informal dianggap paling pas setidaknya untuk bertahan hidup. Adapun kompensasi yang diharapkan hadir untuk para pekerja itu berupa tunai maupun non tunai.
"Perlu ada bantuan langsung. Tidak hanya bantuan tunai ya harusnya ada juga non tunai berbentuk barang atau kartu, tapi di luar itu juga perlu ditunjang dengan mengurangi biaya hidup mereka dari harga-harga kebutuhan harian ada baiknya dikurangi oleh pemerintah, seperti harga BBM, listrik mesti juga diturunkan, jadi biaya hidup mereka bisa berkurang juga," tutupnya.dtc