Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kembali bersidangnya anggota DPR-RI bersama pemerintah untuk membahas kelanjutan RUU Cipta Kerja pada Kamis (15/4/2020), dinilai tidak etis oleh banyak pihak. Di mana seharusnya yang menjadi prioritas adalah bagaimana upaya Indonesia memperlambat penyebaran, dan menangani korban dari virus Covid-19. Minggu ini, per 19 April, telah tercatat sebanyak 6.575 kasus, berbanding terbalik dengan ketersediaan perlengkapan kesehatan, seperti Alat Pelindung Diri (APD), dan terbatasnya tenaga medis.
DPR-RI beralasan bahwa pembahasan RUU tersebut sudah sesuai dengan tugas dan fungsinya, berjalannya program legislasi tidak akan terganggu meskipun dalam situasi pandemi. Selain itu, pembahasan RUU Cipta Kerja merupakan komitmen politik lembaga legislatif tersebut kepada presiden. Apalagi dengan perlambatan ekonomi baik secara global, dan nasional, yang diakibatkan pembatasan aktivitas perdagangan, sudah dirasakan banyak pihak.
Di sektor perburuhan, puluhan ribu perusahaan di beberapa daerah, terpaksa merumahkan dan mem-PHK pekerjannya. Misalnya yang terjadi di DKI Jakarta, terdapat 162.416 pekerja dari 18.045 perusahaan terkena dampak. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) juga mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2020, turun pada kisaran 4,2-4,6 persen. Diperkirakan akan kembali membaik di angka 5,2-5,6 persen, pasca Covid-19 mereda tahun depan.
Dengan perkembangan situasi sekarang, kelihatannya menjadi rasional bagi pemerintah untuk melegalkan RUU ‘Omnibus Law’ Cipta Kerja secepatnya, tentu dengan dukungan penuh mayoritas anggota legislatif kepada presiden. Instrumen hukum ini akan memberikan akomodasi bagi pemulihan ekonomi pasca pandemi. Adanya jaminan terhadap iklim investasi nasional, maka dapat menarik masuk sebanyak-banyaknya investasi asing. Hal ini diyakini pemerintah akan merangsang pertumbuhan ekonomi, dan membuka lapangan kerja bagi mayoritas pekerja usia produktif.
Investasi di Balik Omnibus Law
RUU Cipta Kerja dibuat untuk menyederhanakan sekitar 80-an regulasi tumpang tindih, yang dianggap pemerintah sebagai hambatan utama masuknya investasi ke Indonesia. Akan tetapi, sudah menjadi rahasia umum, kurangnya kualitas pelaksana birokrasi menjadi masalah, kebanyakan kasus korupsi pejabat di Indonesia, berasal dari penyuapan. Para investor akhirnya harus memberikan sejumlah uang agar proses perizinan yang sengaja diperlama, dapat dipercepat.
Hal serupa diungkapkan data yang diterbitkan The Global Competitive Indeks sepanjang tahun 2016 sampai 2017, menyimpulkan bahwa korupsi merupakan faktor paling utama menghambat masuknya investasi. Pemerintah memandang investasi bisa memberikan dampak positif bagi ekonomi nasional, dalam rangka mewujudkan ‘Visi Indonesia Maju’ pada tahun 2045. Tetapi berkaca dari prakteknya, hal berbeda justru terjadi.
James Petras, seorang sosiolog dan pemerhati ekonomi politik, dalam hasil studi ilmiahnya di negara-negara Amerika Latin mengungkapkan, investasi yang masuk ternyata tidak membuka lapangan pekerjaan atau perusahaan baru, tetapi para investor lebih tertarik untuk membeli perusahaan negara, atau swasta. Lalu melakukan privatisasi terhadap perusahaan tersebut, dan berupaya menguasai pasar.
Anggapan bahwa investasi asing yang diyakini akan meningkatkan daya saing industri ekspor, dan merangsang ekonomi lokal melalui sektor keuangan, dan sektor jasa. Nyatanya, hanya membuat investor tertarik membeli atau menginvestasikan uangnya ke sektor-sektor pertambangan yang menjanjikan. Ada argumen bila investasi telah masuk, maka akan membuka arus keran investasi yang lebih besar lagi, dan hal tersebut menjadi tiang kokoh bagi pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan. Tapi konsekuensinya, investasi asing pada pabrik-pabrik, justru menimbulkan ketidakstabilan, sebagai dampak langsung dari persaingan negara industri besar seperti Cina.
Mendatangkan investasi, mempunyai dampak yang cukup riskan demi pertumbuhan ekonomi. Bila kita kembali menelusuri sejarah pada masa pemerintahan orde baru, juga sudah dikeluarkan bermacam regulasi pro-pasar, tujuannya sama, guna mengenjot pertumbuhan ekonomi. Deregulasi akhirnya terjadi akibat intervensi pasar internasional, dan itu merupakan masalah serius bagi kedaulatan bangsa. Di akar rumput muncul banyak sekali kasus konflik akibat perubahan-perubahan kepemilikan tanah, terjadi pergolakan kehidupan ekonomi-sosial masyarakat, seperti konflik agraria yang masih kita saksikan sampai hari ini.
Berbagai Kritik
Kelompok serikat buruh mencatat setidaknya ada 9 hal dalam omnibus law yang mempersulit posisi buruh, antara lain hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, penggunaan outsourcing yang bebas, jam kerja eksploitatif, kontrak pendek yang tidak terbatas waktu, penggunaan tenaga asing termasuk yang tidak memiliki keterampilan (unskilled workers), PHK yang dipermudah, hilangnya jaminan sosial dan pensiun, serta hilangnya sanksi pidana kepada pengusaha yang melanggar undang-undang perburuhan. Buruh semakin tidak berdaya di hadapan pengusaha, dan memberikan kemudahan yang lebih besar kepada kelas.
Pecinta lingkungan memberikan kritik terhadap draf undang-undang ini sebagai sebuah upaya mempercepat krisis lingkungan dan bencana ekologis, misalnya dengan tidak mewajibkan AMDAL kepada usaha sumber daya alam.
Sementara itu kelompok aktivis agraria menilai, dengan draft undang-undang ini, posisi negara (pemerintah pusat) untuk mengeruk sumber daya alam akan semakin kuat dan tidak terkontrol, ketika RUU Omnibus Law melegitimasi hal tersebut dengan Hak Pengelolaan Lahan yang pada praktiknya di lapangan telah sedemikian rupa dikuasai oleh oligarki ekstraktif dan militer untuk mengamankan sumber dayanya. RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan meningkatkan alih fungsi lahan tani kepada non-tani serta risiko guremisasi.
Konklusi
Dari pengalaman yang sudah-sudah, banyak perundang-undangan yang justru menimbulkan masalah baru. Ini terjadi karena berjaraknya kebijakan dan realitas di tengah masyarakat, sehingga kebijakan yang dilahirkan secara top down, sulit mengubah perilaku masyarakat. Sebaiknya pemerintah menjawab masalah-masalah fundamental yang sebenarnya berada di tengah-tengah masyarakat, terutama menuntaskan penyebaran virus Covid-19, dan memberikan kepastian akan kesiapan kelembagaan, termasuk aparatur institusi pemerintah bersama aparatur kesehatan dari tingkat pusat hingga tingkat desa.
Jika pemerintah dapat meraih kembali kepercayaan penuh rakyat dengan menunda pembahasan RUU Cipta Kerja, maka bukan hanya pemerintah yang akan bekerja menyelesaikan krisis virus dan dampaknya, gerakan dari bawah, dan partisipasi rakyat akan nyata memberikan kontribusi. Meminjam Karl Popper, gerakan dua aras; yakni aras apparatus negara dan aras gerakan sosial, dua-duanya akan berkontribusi terhadap perubahan ke arah yang lebih baik.
===
Penulis adalah Koordinator Bidang Pengelolaan Pengetahuan, Hutan Rakyat Institute (HARI)
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]