Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Dalam dua bulan terakhir hampir semua ruang publik didominasi berita penyebaran wabah virus Corona atau Covid-19. Virus penyakit menular yang di Indonesia telah mencapai 7.775 kasus dan 674 orang meninggal dunia. Kondisi yang membuat Presiden Joko Widodo mengalokasikan dana dalam jumlah besar dalam penanganan virus ini.
Penambahan anggaran belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan Virus Covid-19 ini mencapai Rp 405,1 triliun, dengan rincian, Rp 75 triliun untuk sektor kesehatan, Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial, Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR. Dan Rp 150 triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.
Alokasi Dana yang berasal dari penghematan belanja negara sekitar Rp 190 triliun, belanja kementerian dan lembaga negara Rp 95,7 triliun, dana transfer ke Daerah dan Dana Desa Rp 94,2 trilun, serta realokasi cadangan sebesar Rp 54,6 triliun. Dengan total belanja penanganan covid berjumlah Rp 255,1 triliun, dan Rp 150 triliun untuk mendukung program pemulihan ekonomi nasional.
Besarnya anggaran bencana Covid-19 tentunya sangat membutuhkan pengawasan yang sangat ketat, belajar dari banyak penanganan bencana sebelumnya, bagaimana korupsi dana bencana sangat banyak ditemukan. Mulai dari penggelembungan data penerima bantuan, pemotongan dana bantuan, permainan harga barang dan jasa, proyek fiktif, sampai permainan program penanganan, seperti program pelatihan pra-kerja yang menyeret nama staf khusus milinenial Presiden.
Berkaca dari Birokrasi Kolonial
Belajar dari banyaknya kasus korupsi saat bencana tentunya tidak terlepas dari faktor mental dan budaya, buruknya kualitas reformasi birokrasi dan hukum yang telah berjalan hampir 22 tahun, telah membuat budaya korupsi justru mewabah melebihi bencana itu sendiri.
Korupsi atau rasuah ( bahasa Latin : corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok ) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Berkaca ke belakang, praktek korupsi adalah bagian dari warisan era kolonial terutama pada masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie ), sebuah Kongsi Dagang atau Persekutuan Dagang asal Belanda yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602, yang memiliki kekuasaan monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia.
Perusahaan yang dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama dunia dan yang pertama mengeluarkan sistem pembagian saham, Kongsi dagang didukung oleh negara dan diberi fasilitas serta hak istimewa (octrooi). Sesuai dengan konsep birokrasi modern yang mulai berkembang sejak awal abad ke -18.
Sistem birokrasi modern mulai dikenalkan oleh kolonial VOC saat itu. Dalam struktur birokrasi kolonial terdiri dari dua pejabat yaitu : Binennlandsch Bestuur (BB) atau orang yang berasal dari VOC dan Inlandsh Bestuur (IB) atau orang pribumi.
Dalam pandangan sistem kolonialisme negara jajahan adalah sapi perah yang harus di eksploitasi secara optimal agar menghasilkan komoditas yang menguntungkan bagi penguasa atau pemilik modal.
Sehingga sistem birokrasi kolonial sangat tidak memiliki perhatian dan kepedulian terhadap masyarakat jajahan. Sistem tersebut mengakar kuat hingga mempengaruhi cara kerja pejabat birokrasi pribumi (Inlandsh Bestuur).
Tindakan korupsi yang dilakukan pejabat VOC terutama yang berlatar belakang pribumi antara lain adalah perdagangan pribadi atau perdagangan kecil yang biasa disebut morshandel untuk kepentingan pribadi.
Perdagangan pribadi itu menggunakan fasilitas VOC, seperti kapal, gudang, modal dan koneksi. Hal yang menyebabkan banyak kerugian dan kapal VOC yang tenggelam karena banyak dimuat dengan barang dagangan pribadi.
Praktek suap pejabat VOC dari pejabat Indonesia seperti Bupati dan dari pemegang hak penjualan barang-barang VOC, termasuk kelebihan jumlah pajak yang yang ditelan oleh para pejabat pribumi, dengan cara menghitung kelebihan pajak para petani agar sesuai dengan nilai lebihnya.
Korupsi birokrasi ini juga dilakukan oleh penguasa dibawah seperti kepala desa, dengan pungutan pajak tanah dipungut atau persekot ( uang muka ) di luar pajak yang ditetapkan. Atau praktek pembebasan wajib kerja dari tanam paksa dengan membayar upeti kepada kepala desa.
Pengumpulan kekayaan secara berlebihan dalam era Kolonial ini seiring dengan mekanisme kenaikan pangkat dalam pejabat pribumi pada abad 19 yang tidak berdasarkan merit system atau ukuran-ukuran lain seperti yang dibayangkan dalam birokrasi modern.
Tingkat pendidikan, prestasi kerja, senioritas, semuanya percuma karena nepotisme dan kolusi yang berlaku, pejabat pribumi di era kolonial sangat lazim menjilat para atasan Belanda, begitu juga pejabat pribumi kelas rendah menjilat pejabat pribumi yang lebih tinggi.
Di sinilah berlaku budaya pola patron-klien yang rumit dan lingkaran setan jilat-menjilat hampir mewarnai semua jajaran birokrasi kolonial. Hingga terbentuknya elit birokrasi yang berputar di sekeliling jaringan hubungan yang saling kait-mengait. Sehingga pola patronase dan faktor like and dislike sangat dominan dalam mengangkat seorang pejabat di era Kolonial.
Birokrasi Kolonial di Era Milenial
Setelah Reformasi langkah pemberatasan Korupsi ditandai dengan lahirnya Komisi Pemberatasan Korupsi ( KPK ) dan UU Tentang Pemberatasan Korupsi tahun 2001, sebagai upaya untuk memberantas praktek korupsi dan mengusut pejabat yang terindikasi melakukan praktek korupsi tanpa intervensi lembaga negara lainnya.
Namun untuk jangka panjang, praktek korupsi tidak akan selesai hanya dengan melakukan aksi pemberantasan. Karena kegagalan utama justru pada reformasi hukum dan birokrasi yang menjadi kunci dari perubahan sistem pembinaan, pengawasan, hukuman dan budaya birokrasi yang lebih kebal terhadap korupsi.
Karena korupsi di indonesia adalah persoalan kultural, ekonomi sekaligus politik, dari sejarah perkembangan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh watak kaum kolonialisme dan budaya negatif warisan feodalisme, namun sering ditutupi dengan rendahnya tingkat kesejahteraan birokrat dan politik berbiaya tinggi.
Walapun zaman Kolonial berganti zaman Milenium dengan generasi Milenial yang dominan, ternyata praktek korupsi yang berkaitan erat dengan sistem feodalistik dan watak kaum kolonialis, masih sangat mempengaruhi mayoritas jalannya pemerintahan diberbagai jenjang hingga saat ini.
Secara sederhana dapat dilihat dari maraknya praktek suap jabatan dan aturan, aturan yang tidak melakukan konsultasi publik, makelar proyek oleh birokrasi rente, hukum yang tajam ke bawah, perdagangan pribadi dengan fasilitas negara, hingga pungutan liar yang tetap merajalela hingga kelapisan terbawah masyarakat.
Watak yang seolah menjadi tradisi dalam birokrasi pemerintahan, karena tidak berjalannya norma birokratik yang rasional dan bersih, tapi justru memberikan ruang untuk menguatnya nilai lama yang merupakan warisan kolonial.
===
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]