Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Ada kabar mengharubiru dari kampung kota. Istilah ini adalah untuk menyebutkan perkampungan dalam kota. Hubungan antarpribadi masih erat seperti di pedesaan. Padat penduduk, dan umumnya bekerja di sektor informal.
Pemandangan ini mudah kelihatan di pinggiran Kota Medan. Misalnya, di sebagian kawasan Marindal, Tembung dan Marelan.
Di Marindal tak ada itu istilah sepi, atau orang jaga jarak, dan tinggal di rumah. Jalanan masih ramai. Orang masih tetap berjualan, ibu-ibu juga masih berbelanja. Anak-anak muda juga masih asyik bermain bola.
Di Marelan, puluhan remaja asyik bermain bola kaki di tanah lapang pinggir jalan. Uniknya, tidak sedikit warga setempat sengaja datang untuk menyaksikan pertandingan tersebut..
Para pedagang keliling juga ikut nimbrung di kerumunan sambil menawarkan makanan dan minuman jualannya. Maklum, kala itu masih belum puasa Ramadan. Suasana di pinggir Jalan M Basir, Lingkungan 30, Kelurahan Rengas Pulau, Kecamatan Medan Marelan, benar-benar ramai.
Suasana begitu mencair, sama sekali tidak tampak penerapan physical distancing (menjaga jarak fisik) ataupun social distancing (pembatasan sosial) sebagai mana imbauan pemerintah dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Di Tembung, sejumlah kedai nasi masih buka. Imbauan untuk tidak makan di tempat belum dipatuhi. Masih banyak pembeli yang makan di tempat tanpa memperhatikan physical distanting.
Warung kopi, kafe masih terlihat ramai pengunjung. Libur sekolah dimanfaatkan anak-anak berkumpul sekadar duduk-duduk di pinggir jalan.
Status zona merah pandemi Covid-19 di Kecamatan Medan Tembung Kota Medan, ternyata tidak mengurangi aktivitas masyarakat.
Bukan berarti warga Tembung tidak takut terkena wabah corona. Mereka malah cemas kalau-kalau terkena wabah corona. Namun mereka tidak tahu apakah di sekitar mereka ada atau tidak ada corona.
Imbauan untuk melaksanakan ibadah di rumah selama Ramadan juga tidak sepenuhnya dilaksanakan masyarakat. Hari pertama salat Tarawih masih ramai dilaksanakan di masjid. Sayangnya protokol untuk memakai masker, menjaga jarak masih banyak yang mengabaikan.
Tidak Menyentuh
Saya membaca kisah ini di halaman depan harian ANALISA edisi Minggu, 26 April 2020 lalu. Apa gerangan yang terjadi.
Saya menduga inilah ciri khas kampung kota. Masih suka kumpul-kumpul sembari ngobrol. Maklum, di rumah pun tak betah karena kondisi rumah yang sempit dan kecil.
Lagipula kalau di rumah saja, mau makan apa. Hidup di sektor informal tentu saja membutuhkan orang. Misalnya, tukang tambal ban, warung kopi kecil, pedagang sayuran dan sebagainya.
Saya semakin terkesiap karena ternyata suasana ramai-ramai juga terjadi di Sidikalang, ibukota Kabupaten Dairi. Jalan Merdeka Sidikalang ramai dengan bisnis fashion, jasa transportasi, jual suku cadang mobil dan service, elektronik, barbershop, warung kopi hingga kuliner eksis di sepanjang jalan nyaris 1 kilometer itu.
Meski Covid-19 menyerbu Indonesia, tapi warga ibukota Kabupaten Dairi itu masih seperti hari-hari biasa,
Fenomena serupa juga terjadi di Tanah Karo. Masih banyak ditemui warga di berbagai warung “ngumpul” berjam-jam. Para remaja juga bermain sesamanya. Bermain handphone di warung-warung yang menyediakan fasilitas WiFi.
Kaum ibu juga “ngumpul-ngumpul” seraya membahas berita-berita tivi sekitar Covid-19. Mereka ngobrol seraya mengunyah sirih, khas budaya Karo.
Bahkan, imbauan pemerintah untuk “dirumahaja” belum terwujud. Pemakaian masker masih relatif sedikit. Termasuk program untuk selalu mencuci tangan.
Saya kira fenomena kampung kota ini menunjukkan sosialisasi “perang” melawan Covid-19, belum menyentuh hati mereka. Saya menduga karena yang mereka rasakan, justru kehidupan semakin susah.
Barangkali, pemerintah lebih dulu fokus memberdayakan kehidupan mereka. Mungkin dengan mendistribusikan bantuan sosial yang merata. Barulah, kemudian menganjurkan gerakan mencuci tangan, menjaga jarak pisik dan sosial serta menghindari kerumunan.
Hidup yang susah, apalagi perut yang lapar, jika sudah diatasi mungkin mereka akan terbuka mendengarkan anjuran pemerintah. Tentu saja dengan memakai bahasa-bahasa yang dimengerti oleh rakyat. Bukan dengan bahasa makalah ilmiah tentang Covid-19.
Saya menganjurkan pakailah pemimpin informal di kampung kota. Misalnya, tokoh agama, tokoh adat dan masyarakat. Karena hidup di tengah-tengah rakyat, mereka lebih tahu bagaimana caranya berbicara dengan rakyat. Tabik!