Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Bagi orang awam seperti Markesot, mungkin bisa berkomunikasi dengan pengemis atau gelandangan. Tapi belum tentu bisa berdialog dengan seorang bupati. He-he, apalagi dengan seekor burung.
Memang komunikasi kelihatannya sepele. Tapi kalau gagal bisa fatal akibatnya. Masih ingat anekdot tentang seorang penumpang kereta api yang bindheng suaranya (sengau) bertanya kepada penumpang di sebelahnya. “Jam berapa sekarang, Mas,” tanyanya. Yang ditanya berang, lalu mengajak berkelahi. Dia merasa dihina karena dia juga bindheng suaranya.
Begitulah, cuplikan buku “Markesot Bertutur tentang Harapan,” karya Emha Ainum Nadjib (Penerbit Mizan, 2017).
Ada juga anekdot tentang seseorang penumpang yang terinjak kakinya oleh orang di sebelahnya. Sebelum protes, dia merasa perlu lebih dulu mengetahui latar belakang orang yang menginjak kakinya.
“Mas, mas, saya boleh tanya”
“Silahkan, silahkan.”
“Mas ini putra seorang perwira ABRI”
“ Oh, bukan, bukan”
“ Punya paman atau sedulur yang anggota ABRI”
”Oh, ndak, ndak”
“Punya tetangga atau kenalan anggota ABRI”
“Tidak juga,” sahutnya (Rupanya dia orang biasa saja, yang sudah lelah mencari pekerjaan di kota). Mendengar itu, suara si penanya langsung garang. “Kalau begitu, jangan injak-injak kaki saya”
Dulu sewaktu muda Markesot sering disuruh ayahnya mengurus adik-adiknya. Suatu hari sang bapak memanggilnya, dan berkata,” Sot, tolong si Anu dianukan. “Mbok, anunya jangan dianukan ke anunya anu”.
“Ya, pak,” jawab Markesot. Tapi beberapa hari kemudian dia terlupa. Sehingga ketika bapaknya menagih, Markesot tergagap. “Sudah pak, saya katakan anumu itu jangan dianukan ke anunya anu. Dan tampaknya si Anu sudah benar-benar anu, kok”.
Komunikasi memang sangat gampang. Tapi yang terjadi antara Markesot dan bapaknya bukanlah komunikasi: mereka hidup dalam imajinasi masing-masing. Bermonolog sendiri-sendiri. Penafsiran keduanya tentang Anu, dan dianukan pun bagaikan antara bus kota dan kantor pos.
Jangan-jangan jika Markesot dan bapaknya bicara tentang Covid-19 bisa tak satu pemahaman. Bapaknya bilang PSBB harus dilaksanakan, jangan mudik, menjaga jarak pisik dan sosial, jangan berkerumunan dan sebagainya. Ada sanksinya, lho. Mulai dari imbauan, teguran, push up hingga denda.
Tapi sebaliknya Markesot bicara tentang bansos yang tidak merata. Ada yang tak dapat Bantuan Langsung Tunai dan sejenisnya. Ini penting. Tak ada sanksi bagi pejabat yang mestinya bertanggung jawab.
Markesot dan bapaknya sedang melakukan monolog. Bukan dialog. Satu ke barat, satu ke timur.