Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Fatih Fauzan tiba-tiba bergegas dari tempat tidurnya. Ia menuju kamar mandi. Setelah itu langsung ke ruang tengah dan ambil handphone. Jam di dinding masih menunjukkan pukul 09.45 WIB. Tak biasanya anak pertama dalam keluarga itu melakukan aktivitas seperti itu. Di bulan puasa ini, paling cepat bangunnya pukul 11.00 WIB. Usai salat subuh ia selalu masuk kamar lagi.
Pandemi Covid-19 memang memaksanya harus tetap di rumah. Puasa tahun-tahun sebelumnya, Fatih sering salat subuh di masjid dan setelah itu keluyuran entah ke mana. Asmara subuh, istilah orang itu. Pukul delapan atau malah pukul sembilan pagi baru sampai rumah lagi.
“Ma, dah keluar pengumumannya? Lulus Ma?”. Fatih menelopon mamanya. Tapi sepertinya, jawaban dari seberang belum memuaskan.
Handphone masih di tangan, Fatih menghempaskan pantatnya ke kursi. “Ah lulusnya itu. Mana mungkin corona-corona ini tak lulus. Lagian tak adanya ujian UN-nya,” katanya ngerocos campur menganalisis.
Hari itu, Sabtu, tanggal 2 Mei 2020. Rupanya Fatih lagi menunggu pengumuman kelulusannya. Selama tiga tahun ini, ia menempuh pendidikan di salah satu SMA swasta yang berlokasi di pinggiran Kota Medan. Beberapa hari sebelumnya, pihak sekolah memberi informasi pengumuman kelulusan akan disampaikan Sabtu, 2 Mei 2020 melalui WA siswa atau orang tua. Kelulusan siswa SMA diumumkan secara online untuk menghindari tatap muka di tengah pandemi virus corona.
Fatih betul. Lewat WA di sore harinya, ia dinyatakan lulus dari sekolahnya. Wajahnya berseri-seri. Hatinya plong. Ini artinya ia sudah sah meninggalkan seragam abu-abu dan siap-siap menatap tingkatan berikutnya. Ia juga kini terbebas dari pergi pulang, setiap pagi dan siang, dari rumah ke sekolahnya yang ditempuhnya 30 menit dengan sepeda motor.
Seharusnya, pelaksanaan UN atau tepatnya Ujian Nasional Berbasis Komputer untuk tingkat SMA digelar 30 Maret-2 April 2020. Tahun ini, UN dengan format seperti itu akan menjadi yang terakhir. Tahun 2021 nanti bukan UN lagi namanya. Tapi diganti menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Namun, umur UN tersebut ternyata lebih cepat dari yang direncanakan. Tahun ini, UN akhirnya tak digelar lagi. Pemerintah memutuskan meniadakan pelaksanaan UN 2020 menyusul pandemi Covid-19. Kebijakan peniadaan UN tahun ini dinilai sebagai bentuk penerapan physical distancing untuk menekan laju penyebaran virus tersebut. Sebagai gantinya, kelulusan siswa didasarkan pada nilai rapor dan hasil tugas selama menjalani pembelajaran jarak jauh di tengah pandemi Covid-19.
UN Menakutkan
Begitulah covid itu. Bukan sektor ekonomi, sosial, budaya, dan agama saja yang diserangnya. Dunia pendidikan juga ikut “luluh lantak”. Sekolah dan kampus harus tutup. Belajar terpaksa dari rumah. Kuliah harus jarak jauh. Siswa, mahasiswa, guru, dan dosen terpaksa di rumah.
Program pendidikan yang sudah dirancang jauh-jauh hari batal terlaksana. Kegiatan-kegiatan sekolah dan kampus tunda dulu atau malah tak jadi lagi. Media on line atau daring jadi alternatif utama. Salah satu puncaknya UN, Ujian Nasional pun ditiadakan.
Sebagian orang pasti miris karena UN tak ada. Tapi kalau mau jujur, para siswa kelas 3 SMA/SMK, siswa kelas 3 SMP/MTS, dan kelas 6 SD/MI relatif senang dengan peniadaan UN tersebut. Siswa senang, karena sesuatu yang selama ini mungkin dianggap menegangkan dan menakutkan sudah tidak lagi. Sesuatu yang harus dihadapi sungguh-sungguh, penuh persiapan, kadang harus begadang dan doa ramai-ramai di lapangan, akhirnya dihapuskan.
Harus diakui, UN memang masih menjadi momok yang menakutkan. Apalagi, beberapa tahun silam (2003-2010), ketika itu UN dianggap satu-satunya syarat kelulusan siswa dari sekolah. Tahun-tahun berikutnya, proporsi hasil UN masih tetap tinggi untuk kelulusan siswa.
UN dianggap “horor”. UN menjadi pertaruhan. Betapa tidak, apa yang dilakoni selama tiga tahun di bangku sekolah bisa kandas gara-gara gagal UN. Apa yang diperoleh selama tiga tahun belajar, bisa tak berarti apa-apa jika kalah di UN. Tak jarang, peringkat 10 besar di kelas, justru kandas di UN. Ada juga siswa yang sudah diterima di perguruan tinggi negeri lewat jalur undangan, harus terhempas karena gagal di UN.
Selain kecewa dan menunda harapan, gagal di UN tentu menanggung malu. Bukan si siswa saja yang malu, tapi termasuk pihak-pihak lainnya. Orang tua malu. Keluarga malu. Guru malu. Kepala sekolah malu. Pejabat pendidikan malu. Kepala daerah malu.
Nah, untuk terbebas dari rasa malu gagal di UN, berbagai cara pun ditempuh. Belajar sungguh-sungguh. Rajin bahas soal. Ikut les. Aktif di lembaga bimbingan belajar. Diskusi sepulang sekolah.
Tapi, ini pun kadang dirasa belum cukup. Harus ada cara-cara lainnya. Ya, dari cara normal hingga tak normal. Dari terencana, berjenjang hingga jalan pintas. Dari cara jantan hingga culas. Dari cara wajar hingga tindakan tak terpuji.
Tak terelakkan. Cara-cara culas, jalan pintas, dan tindakan tak terpuji kerap menjadi pilihan agar bisa menjawab soal-soal UN. Tentu tujuannya agar lulus UN.
Mencontek ramai-ramai pun jadi pilihan. Bocoran jawaban jadi harapan. Bantuan dari guru dan pihak sekolah menjadi penantian. Alat teknologi komunikasi kadang jadi andalan. Beli kunci jawaban dilakukan dari pihak lain atau calo yang main di luaran.
Banyak cerita menarik, lucu, sekaligus miris tentang ini. Semua itu sudah jadi rahasia umum. Seorang siswa yang biasanya datang di ujung bel, tapi di hari pelaksanaan UN jadi yang paling cepat sampai di sekolah. Si siswa rupanya dapat informasi kunci jawaban katanya akan dibagi pukul enam pagi.
Di tempat lain, siswa sudah dikoordinir dan diwanti-wanti untuk tidak grasak-grusuk. Jawaban soal katanya akan datang dari salah seorang siswa dan seterusnya akan digulirkan, bergilir ke semua siswa. Di tahun berikutnya, alat komunikasi jadi andalan dan pihak sekolah ikut berperan.
Mereka sadar melakukannya. Perbuatan tak terpuji, tapi tujuannya mulia. Agar tak ada siswa yang tidak lulus UN. Agar angka kelulusan sekolah tinggi. Agar tidak ada yang malu.
Makanya tak mengherankan jika setiap tahun selalu ada temuan kecurangan di balik pelaksanaan UN. Data paling baru, Tahun 2019, misalnya, Kemendikbud RI menerima 126 kasus aduan kecurangan selama pelaksanaan UN tingkat SMA/SMK/MA. Jumlah pengaduan yang masuk dari tahun ke tahun meningkat. Tahun 2017, terdapat 71 peserta yang terindikasi melakukan kecurangan. Tahun 2018, sebanyak 79 peserta.
Fakta pengaduan itu tentu hanya di permukaan. Yang tak terungkap jauh lebih banyak. Sekali lagi, mereka sadar melakukannya. Sadar karena terpaksa dan mau tak mau harus mau.
Awalnya siswa pasti tak mau. Apalagi siswa yang tergolong pintar. Tapi karena takut tak lulus atau takut malu jika gagal UN, akhirnya memilih ikut dengan cara yang disampaikan.
Guru juga menolak. Tapi karena kuatir siswanya tak lulus dan orangtua siswa kecewa, si guru pun terpaksa meminggirkan idealismenya.
Kepala sekolah juga sebenarnya tegas tak bersedia. Tapi karena takut siswanya banyak yang tak lulus atau mungkin kuatir terimbas ke jabatan, ia akhirnya bungkam dan terpaksa ikut.
Pejabat pendidikan dan kepala daerah bisa jadi bersikeras untuk tetap pada jalur. Tapi, karena takut daerahnya memperoleh angka kelulusan paling rendah dibanding daerah lainnya, mereka pun terpaksa tutup mata dengan berbagai kecurangan.
Kondisi Beda, Dipandang Sama
Jika dirunut, persoalan ini tidak berdiri sendiri. Tingkat kesulitan dan keseragaman soal serta angka atau nilai kelulusan juga menjadi pemicu.
Seperti diketahui, soal UN tingkat SMA di seluruh Indonesia, baik jumlah maupun jenisnya sama semua. Artinya, soal UN untuk SMA negeri dan swasta pavorit di kota-kota besar, sama dengan soal UN untuk SMA di pelosok kecamatan. Soal untuk SMA dengan fasillitas sarana dan prasarana lengkap, sama dengan soal untuk SMA yang atas sekolahnya bocor dan papan tulisnya sudah pecah.
Soal untuk siswa yang fasilitasnya lengkap, ke sekolah diantar mobil, usai sekolah dapat tambahan les dan bimbingan belajar, sama dengan soal untuk siswa yang bukunya pun mungkin terbatas dan kalau ke sekolah harus melewati sungai dan persawahan. Terkadang sampai ke sekolah, les pertama dan kedua sudah selesai.
Celakanya lagi, angka atau nilai kelulusan UN sama pula. Artinya, tidak ada beda nilai kelulusan untuk masing-masing sekolah atau masing-masing daerah. Nilai kelulusan di SMA kota dan pavorit, sama dengan nilai kelulusan SMA di daerah, sekali pun masih tergolong daerah tertinggal dan terpencil.
Kebijakan ini muncul dari pusat. Soal UN, tingkat kesulitannya, jadwal ujiannya, distribusi soalnya, dan nilai terendah kelulusan disepakati di pusat sana. “Kacamata pusat” melihat pendidikan sama dan rata di tengah kondisi dan situasi daerah serta sekolah yang berbeda dan timpang.
Begitu jugalah yang terjadi hari ini. “Kacamata pusat” memandang situasi dan kondisi pendidikan sama di negeri ini, Makanya muncul kebijakan menyamakan pemberlakuan belajar dari rumah untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Disamakannya siswa di kota dan di desa. Padahal tidak semua siswa dilengkapi dengan handphone dan fasilitas internet. Tidak semua rumah punya televisi dan bisa mengakses TVRI.
Demikian pulalah tahun-tahun silam “kacamata pusat” melihat UN. Disamakannya dari Sabang hingga Merauke sana.
Makanya beruntunglah Fatih, tahun ini UN ditiadakan. Beruntung karena contek-menyontek tidak ada. Beruntung, karena terhindar dari berbagai potensi kecurangan. Fatih tidak sendirian, Ada ribuan “Fatih-Fatih” lainnya yang “diuntungkan” dengan kondisi hari ini. Sembari berharap, agar mereka-mereka yang dinyatakan lulus sekolah tahun ini tidak dilabeli dengan “generasi covid”.
===
Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]